Kelompok orkes tertua, Minangkabau Simfoni Orkestra, beraksi untuk 100 tahun kebangkitan Indonesia. Tapi ia terlalu mengejar selera pasar.
Minangkabau Simfoni Orkestra, bagi masyarakat Sumatera sudah tak asing lagi, apalagi bagi masyarakat Sumatera Barat. Orkestra yang didirikan pada Desember 2006 (?) ini merupakan cikal bakal dari nama-nama besar kelompok orkes sebelumnya yang tumbuh di Ranah Minang sejak tahun 1985 seperti, Orkes Simfoni Bukittinggi, Orkes Simfoni Padang, Orkes Simfoni Sumatera Barat, dan Orkes Simfoni Ranah Minang. Seluruh personilnya merupakan mahasiswa, alumni, dan dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang.
Pertunjukan komposisi musik dalam sebuah Orkestra sangat ditentukan oleh arranger, conductor, concert master, principle, solist, player. Mereka komponen yang paling berpengaruh terhadap suksesnya pertunjukan tersebut. Tapi yang paling berkuasa adalah conductor. Ia pemimpin pertunjukan, penerjemah, juga pelatih yang dapat mengetahui psikologi para pemainnya. Sekaligus sebagai conductor tentunya dianggap sebagai ilmuan yang mampu mentransfer ilmu baik secara teoritis maupun praktis kepada seluruh mitra kerjanya (pendukung orkestra).
Selanjutnya sosok concert master, pemain biola utama, yang berada pada posisi kiri conductur. Concert master bertanggung jawab terhadap pelaksanaan teknis dalam permainan, sekaligus harus mampu memahami keseluruhan komposisi yang sedang dan akan dimainkan. Ia juga dapat menggantikan posisi conductor apabila sang pimpinan berhalangan. Jadi malan itu yang dipercayakan sebagai concert master adalah Yasril Adha. Di samping itu, dalam sebuah orkes harus juga ada beberapa orang Principle mereka ini bertanggung jawab bagi keberhasilan serta kelancaran teknik permainan dan penandaan bagian-bagian partitur para anggota orkes.
Selera Pasar
Minggu, 18 Mei 2008. Di lapangan Kantin Kota Bukittinggi berlangsung Konser Musik 2008 bertajuk 100 tahun Kebangkitan Nasional. Malam itu orkes dipimpin oleh Marta Roza dengan lagu pembuka yang diambil dari kelompok thrash metal, Metalica, yang diaransemen oleh Diansyah Putra. Metalica sebagai model, bahwasanya Orkes Simfoni mampu memainkan lagu-lagu pop, rock, jazz, dan bahkan dangdut. “Basik dasar tetap klasik dalam penguasaan aransemen dan orkestrasi,” tutur Marta usai pertunjukan.
Selanjutnya, Minangkabau Simfoni Orkestra tampil dalam lagu-lagu populer dengan menampilkan penyanyi Sumatera Barat di antaranya; Andi Adam, Soniya, Jaks Surya, Fani Vabiola yang masing menyanyikan tiga lagu. Sedang Helena (Idol) muncul dengan menyanyikan lagu Sempurna, Munajat Cinta, Karena Cinta, Ingat Kamu dan terakhir membawakan lagu minang yang berjudul Pulang Lah Uda. Materi-materi lagu seperti ini dengan mudah dapat dinikmati dan disuguhkan dengan baik oleh seluruh pendukung. Ini bukanlah suatu prestasi yang gemilang, jika sebuah orkes simfoni yang telah berpengalaman hanya bermain dalam kancah lagu populer.
Suka Harjana dalam “Wilma Sriwulan” (2000:68) bilang, “Orkes Simfoni yang tertua di Indonesia adalah Orkes Simfoni di Sumatera Barat.” Namun, orkes yang tertua itu dalam perkembangannya tidak mampu mengangkat dan mengolah musik klasik standar. Selayaknya konser dalam malam 100 tahun kebangkitan nasional, Minangkabau Simfoni Orkestra tidak melulu mengangkat lagu-lagu populer, seharusnya ada tiga atau empat lagu klasik standar atau mengaransemen lagu-lagu tradisional melayu untuk dimainkan. Jika tidak ada lagu klasik standar yang dimainkan, maka Minangkabau Simfoni Orkestra berada di persimpangan jalan. Tak tahu arah untuk dituju, padahal sangat jelas bahwasanya sebuah komunitas orkes tidak melulu mengejar selera pasar, boleh jadi agar tidak membosankan diselipkan satu, dua, tiga atau empat lagu-lagu populer untuk dapat masuk ke wilayah dunia anak muda yang seleranya ngeband .
Penonton Kecewa
Ada rasa bangga dan bahagia ketika menyaksikan alat musik klasik yang tersusun di atas panggung. Namun renyuh juga ketika bunyi yang keluar bukan musik klasik standar malahan lagu pop Indonesia. Konser Musik 2008 di Bukittinggi, rindu mencekam terhadap aransemen baru dari arranger muda terhadap lagu klasik standar. Rindu beberapa orang penonton tak terobati oleh Minangkabau Simfoni Orkestra.
“Aku kecewa terhadap pertunjukan musik yang katanya berlabel Minangkabau Simfoni Orkestra, dalam bayangan saya akan ternikmati pertunjukan musik klasik standar atau minimal lagu-lagu tradisional Melayu yang diaransemen ulang, namun sampai di lapangan kantin malah saya menonton lagu-lagu pop, kalau lagu seperti itu lebih baik saya putar VCD saja di rumah,” ungkap Mahdiansyah, salah seorang penonton yang diwawancarai di lokasi pertunjukan.
Jadi Minangkabau Simfoni Orkestra tidak berani bertahan hidup dengan musik-musik klasik standar atau lagu tradisi Melayu, tetap ingin mengikuti selera pasar, maka musik di Sumatera Barat tetap saja. “Laksana kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau.” Andaikan dua saja aransemen klasik standar dilakukan, banyak penonton bertahan sampai larut malam untuk menyaksikan pertunjukan tersebut.
Ah! Kita sedang berada di ujung tanduk ketakberdayaan. Idealisme seorang seniman dapat digulingkan atas nama ‘selera pasar.’ Sungguh memprihatinkan. Apakah harus kita obral murah selembar harga diri kesenimanan untuk dapat bersanding di sebuah kampung bernama ‘terkenal’? Silakan, segalanya kembali kepada individu seniman. Sudah wajar seandainya Minangkabau Simfoni Orkestra mulai serius menggarap lagu-lagu klasik standar, atau Opera Melayu “Simarantang” seperti yang dilakukan Komposer Yoesbar Djailani. Bila hal ini yang dikemas oleh komunitas Orkes tersebut, pastilah ditunggu dan dinanti oleh penggemarnya. Namun tetap saja haturan selamat terucap walau terkurang untuk aksi panggung Minggu malam itu. Hanya kita yang membaca dan berkaca, semoga tak bercermin pada kaca yang terbelah. Begitulah seharusnya seniman.
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar