Kelompok orkes tertua, Minangkabau Simfoni Orkestra, beraksi untuk 100 tahun kebangkitan Indonesia. Tapi ia terlalu mengejar selera pasar.
Minangkabau Simfoni Orkestra, bagi masyarakat Sumatera sudah tak asing lagi, apalagi bagi masyarakat Sumatera Barat. Orkestra yang didirikan pada Desember 2006 (?) ini merupakan cikal bakal dari nama-nama besar kelompok orkes sebelumnya yang tumbuh di Ranah Minang sejak tahun 1985 seperti, Orkes Simfoni Bukittinggi, Orkes Simfoni Padang, Orkes Simfoni Sumatera Barat, dan Orkes Simfoni Ranah Minang. Seluruh personilnya merupakan mahasiswa, alumni, dan dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang.
Pertunjukan komposisi musik dalam sebuah Orkestra sangat ditentukan oleh arranger, conductor, concert master, principle, solist, player. Mereka komponen yang paling berpengaruh terhadap suksesnya pertunjukan tersebut. Tapi yang paling berkuasa adalah conductor. Ia pemimpin pertunjukan, penerjemah, juga pelatih yang dapat mengetahui psikologi para pemainnya. Sekaligus sebagai conductor tentunya dianggap sebagai ilmuan yang mampu mentransfer ilmu baik secara teoritis maupun praktis kepada seluruh mitra kerjanya (pendukung orkestra).
Selanjutnya sosok concert master, pemain biola utama, yang berada pada posisi kiri conductur. Concert master bertanggung jawab terhadap pelaksanaan teknis dalam permainan, sekaligus harus mampu memahami keseluruhan komposisi yang sedang dan akan dimainkan. Ia juga dapat menggantikan posisi conductor apabila sang pimpinan berhalangan. Jadi malan itu yang dipercayakan sebagai concert master adalah Yasril Adha. Di samping itu, dalam sebuah orkes harus juga ada beberapa orang Principle mereka ini bertanggung jawab bagi keberhasilan serta kelancaran teknik permainan dan penandaan bagian-bagian partitur para anggota orkes.
Selera Pasar
Minggu, 18 Mei 2008. Di lapangan Kantin Kota Bukittinggi berlangsung Konser Musik 2008 bertajuk 100 tahun Kebangkitan Nasional. Malam itu orkes dipimpin oleh Marta Roza dengan lagu pembuka yang diambil dari kelompok thrash metal, Metalica, yang diaransemen oleh Diansyah Putra. Metalica sebagai model, bahwasanya Orkes Simfoni mampu memainkan lagu-lagu pop, rock, jazz, dan bahkan dangdut. “Basik dasar tetap klasik dalam penguasaan aransemen dan orkestrasi,” tutur Marta usai pertunjukan.
Selanjutnya, Minangkabau Simfoni Orkestra tampil dalam lagu-lagu populer dengan menampilkan penyanyi Sumatera Barat di antaranya; Andi Adam, Soniya, Jaks Surya, Fani Vabiola yang masing menyanyikan tiga lagu. Sedang Helena (Idol) muncul dengan menyanyikan lagu Sempurna, Munajat Cinta, Karena Cinta, Ingat Kamu dan terakhir membawakan lagu minang yang berjudul Pulang Lah Uda. Materi-materi lagu seperti ini dengan mudah dapat dinikmati dan disuguhkan dengan baik oleh seluruh pendukung. Ini bukanlah suatu prestasi yang gemilang, jika sebuah orkes simfoni yang telah berpengalaman hanya bermain dalam kancah lagu populer.
Suka Harjana dalam “Wilma Sriwulan” (2000:68) bilang, “Orkes Simfoni yang tertua di Indonesia adalah Orkes Simfoni di Sumatera Barat.” Namun, orkes yang tertua itu dalam perkembangannya tidak mampu mengangkat dan mengolah musik klasik standar. Selayaknya konser dalam malam 100 tahun kebangkitan nasional, Minangkabau Simfoni Orkestra tidak melulu mengangkat lagu-lagu populer, seharusnya ada tiga atau empat lagu klasik standar atau mengaransemen lagu-lagu tradisional melayu untuk dimainkan. Jika tidak ada lagu klasik standar yang dimainkan, maka Minangkabau Simfoni Orkestra berada di persimpangan jalan. Tak tahu arah untuk dituju, padahal sangat jelas bahwasanya sebuah komunitas orkes tidak melulu mengejar selera pasar, boleh jadi agar tidak membosankan diselipkan satu, dua, tiga atau empat lagu-lagu populer untuk dapat masuk ke wilayah dunia anak muda yang seleranya ngeband .
Penonton Kecewa
Ada rasa bangga dan bahagia ketika menyaksikan alat musik klasik yang tersusun di atas panggung. Namun renyuh juga ketika bunyi yang keluar bukan musik klasik standar malahan lagu pop Indonesia. Konser Musik 2008 di Bukittinggi, rindu mencekam terhadap aransemen baru dari arranger muda terhadap lagu klasik standar. Rindu beberapa orang penonton tak terobati oleh Minangkabau Simfoni Orkestra.
“Aku kecewa terhadap pertunjukan musik yang katanya berlabel Minangkabau Simfoni Orkestra, dalam bayangan saya akan ternikmati pertunjukan musik klasik standar atau minimal lagu-lagu tradisional Melayu yang diaransemen ulang, namun sampai di lapangan kantin malah saya menonton lagu-lagu pop, kalau lagu seperti itu lebih baik saya putar VCD saja di rumah,” ungkap Mahdiansyah, salah seorang penonton yang diwawancarai di lokasi pertunjukan.
Jadi Minangkabau Simfoni Orkestra tidak berani bertahan hidup dengan musik-musik klasik standar atau lagu tradisi Melayu, tetap ingin mengikuti selera pasar, maka musik di Sumatera Barat tetap saja. “Laksana kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau.” Andaikan dua saja aransemen klasik standar dilakukan, banyak penonton bertahan sampai larut malam untuk menyaksikan pertunjukan tersebut.
Ah! Kita sedang berada di ujung tanduk ketakberdayaan. Idealisme seorang seniman dapat digulingkan atas nama ‘selera pasar.’ Sungguh memprihatinkan. Apakah harus kita obral murah selembar harga diri kesenimanan untuk dapat bersanding di sebuah kampung bernama ‘terkenal’? Silakan, segalanya kembali kepada individu seniman. Sudah wajar seandainya Minangkabau Simfoni Orkestra mulai serius menggarap lagu-lagu klasik standar, atau Opera Melayu “Simarantang” seperti yang dilakukan Komposer Yoesbar Djailani. Bila hal ini yang dikemas oleh komunitas Orkes tersebut, pastilah ditunggu dan dinanti oleh penggemarnya. Namun tetap saja haturan selamat terucap walau terkurang untuk aksi panggung Minggu malam itu. Hanya kita yang membaca dan berkaca, semoga tak bercermin pada kaca yang terbelah. Begitulah seharusnya seniman.
Kamis, 30 Oktober 2008
Minggu, 26 Oktober 2008
MATEMATIKA, MUSIK DAN KECERDASAN
Berdasarkan pengamatan pada sejumlah anak, para peneliti dari Universitas California menyimpulkan bahwa belajar musik pada usia dini dapat meningkatkan kecerdasan
(baca: kemampuan bernalar dan berpikir) dalam jangka panjang. Hasil penelitian ini begitu menarik perhatian sehingga buku The Mozart Effect karangan Don Campbell (1997), majalah Intisari (Februari 1997), harian London Sunday Times (Oktober 1997), dan terakhir majalah D & R (No. 12/XXIX/8, November 1997) merasa tergugah untuk menginformasikan kepada masyarakat.
Hasil penelitian tersebut memang pantas untuk disimak, walaupun seperti dikemukakan oleh musisi Suka Hardjana kepada majalah D & R bahwa hal itu sebenarnya sudah lama diketahui orang. Melalui tulisan ini, izikanlah saya untuk menyampaikan pandangan saya mengenai hasil penelitian tersebut dan mengaitkannya dengan peranan matematika dalam meningkatkan kecerdasan seseorang.
Hal pertama yang menarik untuk dicatat adalah bahwa hasil penelitian tersebut diperoleh secara objektif oleh Gordon Shaw dkk yang notabene adalah fisikawan, bukan oleh para musisi. Bila seorang musisi yang menyatakan bahwa musik itu perlu dipelajari karena bisa meningkatkan kecerdasan, orang mungkin tidak akan percaya begitu saja, karena pernyataan tersebut dapat dinilai subjektif.
Demikian pula halnya bila seorang matematikawan mengatakan bahwa matematika itu penting dan karenanya perlu dipelajari, orang mungkin akan bereaksi, "O, ya?" dengan nada tidak percaya. Namun ketika seorang musisi seperti Suka Hardjana menyatakan bahwa seseorang yang bermain musik sesungguhnya sedang bermatematika dan seluruh susunan syaraf otaknya bekerja, Anda baru sadar bahwa matematika (setidaknya melalui musik) melatih otak kita bernalar dan berpikir, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kecerdasan.
Matematika dan musik memang sudah "bersaudara" sejak zaman Yunani Kuno. Pythagoras (580-500 SM) seorang filsuf dan matematikawan terkenal pada zaman Yunani Kuno bersama para muridnya menemukan bahwa harmoni dalam musik berkorespondensi dengan perbandingan dua buah bilangan bulat. Bila kita mempunyai dua utas kawat yang diregangkan dengan ketegangan yang sama, maka perbandingan panjang kedua utas kawat tadi mestilah 2: 1 untuk menghasilkan nada keenam (not yang sama pada oktaf berikutnya); 3: 2 untuk nada kelima, dan 4: 3 untuk nada keempat.
Sebagaimana dikemukan oleh Aristoteles (384-322 SM), Pythagoras dan para muridnya mempercayai bahwa alam semesta ini dipenuhi oleh interval musik dan sehubungan dengan itu mereka juga mempercayai bahwa all is number. Bagi mereka, perbandingan dasar dalam musik yang terdiri atas bilangan 1, 2, 3, 4, yang berjumlah 10 (yang merupakan basis sistem bilangan yang kita pakai sekarang), adalah suci, dan musik serta teorinya merupakan salah satu dari empat kategori dalam sains: aritmatika, geometri, musik, dan astronomi. Pada masa Plato (guru Aristoteles), matematika dan musik tidak hanya menjadi kriteria bagi orang cerdas tetapi juga bagi orang terdidik.
Satu hal yang menarik dan penting untuk dicatat mengenai kehidupan Pythagoras dan para muridnya pada zaman itu ialah kehausan mereka untuk mempelajari matematika dan filsafat sebagai basis moral. Pythagoras sendiri diyakini telah mengawinkan kedua kata tersebut: filsafat (love of wisdom) dan matematika (that which is learned). Pythagoras jugalah orangnya yang telah mentransformasikan matematika menjadi suatu bentuk pendidikan yang liberal.
Pada abad pertengahan dan zaman Renaisance, matematika dan musik kembali mendapat tempat yang terhormat di sekolah-sekolah di Eropa. Pada masa itu, aritmatika, geometrika, musik, astronomi, tata bahasa, dialektika (logika), dan retorika merupakan the seven liberal arts. Namun semua itu kini tinggal sejarah, lain dulu lain sekarang.
Musik, walaupun demikian, masih dapat dikatakan bernasib baik bila dibandingkan dengan matematika. Setidaknya orang hampir tidak pernah bertanya, "Apa gunanya musik?" setelah ia mendengarkan Mozart, misalnya. Matematika, sementara itu, lebih sering dianggap sebagai momok, dan orang pun semakin sering bertanya, "Apa gunanya matematika?"
Di negara kita, situasinya lebih parah lagi; di samping apresiasi masyarakat terhadap matematika masih sangat rendah, pengajaran matematika di sekolah pun masih bermasalah. Padahal, pada zaman yang semakin bergantung kepada teknologi menyongsong era globalisasi, bagaimana kita dapat bersaing apabila kita tidak menguasai teknologi? Bagaimana kita dapat menciptakan teknologi sendiri apabila kita tidak cukup menguasai matematika dan sains, yang notabene merupakan cara bernalar dan berpikir serta bahasa untuk memahami alam semesta ini?
Kunci jawaban untuk semua pertanyaan ini jelas ada di sekolah. Suka Hardjana secara tegas mengatakan bahwa kurikulum pendidikan musik di negara kita harus diperbaiki, bahkan bila mungkin diubah total. Menurutnya, pendidikan musik itu bukan hanya belajar bernyanyi. Bila hanya dipakai sebagai hiburan, musik bukannya mempercerdas tetapi malah dapat memperbodoh kita.
Seiring dengan itu, kurikulum matematika SD, SLTP, dan SLTA, yang selama ini sering dikeluhkan oleh para orang tua murid dan juga guru di lapangan, tentunya perlu pula ditinjau kembali dan dibenahi. Matematika bukan sekedar berhitung secara mekanis dan prosedural (menggunakan otak kiri), tetapi juga bernalar dan berpikir secara kreatif dan inovatif dalam upaya memecahkan berbagai masalah dan membuat segala sesuatu lebih baik (menggunakan otak kanan).
Kurikulum yang terlalu berat ke fungsi otak kiri dan mematikan kreatifitas dan daya inovasi murid, dan karenanya sulit diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan mereka. Demi meningkatkan kemampuan berpikir siswa, keseimbangan fungsi otak kiri dan otak kanan perlu mendapat perhatian yang serius dalam penyusunan kurikulum matematika (dan juga mata pelajaran lainnya) pada masa yang akan datang.
(baca: kemampuan bernalar dan berpikir) dalam jangka panjang. Hasil penelitian ini begitu menarik perhatian sehingga buku The Mozart Effect karangan Don Campbell (1997), majalah Intisari (Februari 1997), harian London Sunday Times (Oktober 1997), dan terakhir majalah D & R (No. 12/XXIX/8, November 1997) merasa tergugah untuk menginformasikan kepada masyarakat.
Hasil penelitian tersebut memang pantas untuk disimak, walaupun seperti dikemukakan oleh musisi Suka Hardjana kepada majalah D & R bahwa hal itu sebenarnya sudah lama diketahui orang. Melalui tulisan ini, izikanlah saya untuk menyampaikan pandangan saya mengenai hasil penelitian tersebut dan mengaitkannya dengan peranan matematika dalam meningkatkan kecerdasan seseorang.
Hal pertama yang menarik untuk dicatat adalah bahwa hasil penelitian tersebut diperoleh secara objektif oleh Gordon Shaw dkk yang notabene adalah fisikawan, bukan oleh para musisi. Bila seorang musisi yang menyatakan bahwa musik itu perlu dipelajari karena bisa meningkatkan kecerdasan, orang mungkin tidak akan percaya begitu saja, karena pernyataan tersebut dapat dinilai subjektif.
Demikian pula halnya bila seorang matematikawan mengatakan bahwa matematika itu penting dan karenanya perlu dipelajari, orang mungkin akan bereaksi, "O, ya?" dengan nada tidak percaya. Namun ketika seorang musisi seperti Suka Hardjana menyatakan bahwa seseorang yang bermain musik sesungguhnya sedang bermatematika dan seluruh susunan syaraf otaknya bekerja, Anda baru sadar bahwa matematika (setidaknya melalui musik) melatih otak kita bernalar dan berpikir, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kecerdasan.
Matematika dan musik memang sudah "bersaudara" sejak zaman Yunani Kuno. Pythagoras (580-500 SM) seorang filsuf dan matematikawan terkenal pada zaman Yunani Kuno bersama para muridnya menemukan bahwa harmoni dalam musik berkorespondensi dengan perbandingan dua buah bilangan bulat. Bila kita mempunyai dua utas kawat yang diregangkan dengan ketegangan yang sama, maka perbandingan panjang kedua utas kawat tadi mestilah 2: 1 untuk menghasilkan nada keenam (not yang sama pada oktaf berikutnya); 3: 2 untuk nada kelima, dan 4: 3 untuk nada keempat.
Sebagaimana dikemukan oleh Aristoteles (384-322 SM), Pythagoras dan para muridnya mempercayai bahwa alam semesta ini dipenuhi oleh interval musik dan sehubungan dengan itu mereka juga mempercayai bahwa all is number. Bagi mereka, perbandingan dasar dalam musik yang terdiri atas bilangan 1, 2, 3, 4, yang berjumlah 10 (yang merupakan basis sistem bilangan yang kita pakai sekarang), adalah suci, dan musik serta teorinya merupakan salah satu dari empat kategori dalam sains: aritmatika, geometri, musik, dan astronomi. Pada masa Plato (guru Aristoteles), matematika dan musik tidak hanya menjadi kriteria bagi orang cerdas tetapi juga bagi orang terdidik.
Satu hal yang menarik dan penting untuk dicatat mengenai kehidupan Pythagoras dan para muridnya pada zaman itu ialah kehausan mereka untuk mempelajari matematika dan filsafat sebagai basis moral. Pythagoras sendiri diyakini telah mengawinkan kedua kata tersebut: filsafat (love of wisdom) dan matematika (that which is learned). Pythagoras jugalah orangnya yang telah mentransformasikan matematika menjadi suatu bentuk pendidikan yang liberal.
Pada abad pertengahan dan zaman Renaisance, matematika dan musik kembali mendapat tempat yang terhormat di sekolah-sekolah di Eropa. Pada masa itu, aritmatika, geometrika, musik, astronomi, tata bahasa, dialektika (logika), dan retorika merupakan the seven liberal arts. Namun semua itu kini tinggal sejarah, lain dulu lain sekarang.
Musik, walaupun demikian, masih dapat dikatakan bernasib baik bila dibandingkan dengan matematika. Setidaknya orang hampir tidak pernah bertanya, "Apa gunanya musik?" setelah ia mendengarkan Mozart, misalnya. Matematika, sementara itu, lebih sering dianggap sebagai momok, dan orang pun semakin sering bertanya, "Apa gunanya matematika?"
Di negara kita, situasinya lebih parah lagi; di samping apresiasi masyarakat terhadap matematika masih sangat rendah, pengajaran matematika di sekolah pun masih bermasalah. Padahal, pada zaman yang semakin bergantung kepada teknologi menyongsong era globalisasi, bagaimana kita dapat bersaing apabila kita tidak menguasai teknologi? Bagaimana kita dapat menciptakan teknologi sendiri apabila kita tidak cukup menguasai matematika dan sains, yang notabene merupakan cara bernalar dan berpikir serta bahasa untuk memahami alam semesta ini?
Kunci jawaban untuk semua pertanyaan ini jelas ada di sekolah. Suka Hardjana secara tegas mengatakan bahwa kurikulum pendidikan musik di negara kita harus diperbaiki, bahkan bila mungkin diubah total. Menurutnya, pendidikan musik itu bukan hanya belajar bernyanyi. Bila hanya dipakai sebagai hiburan, musik bukannya mempercerdas tetapi malah dapat memperbodoh kita.
Seiring dengan itu, kurikulum matematika SD, SLTP, dan SLTA, yang selama ini sering dikeluhkan oleh para orang tua murid dan juga guru di lapangan, tentunya perlu pula ditinjau kembali dan dibenahi. Matematika bukan sekedar berhitung secara mekanis dan prosedural (menggunakan otak kiri), tetapi juga bernalar dan berpikir secara kreatif dan inovatif dalam upaya memecahkan berbagai masalah dan membuat segala sesuatu lebih baik (menggunakan otak kanan).
Kurikulum yang terlalu berat ke fungsi otak kiri dan mematikan kreatifitas dan daya inovasi murid, dan karenanya sulit diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan mereka. Demi meningkatkan kemampuan berpikir siswa, keseimbangan fungsi otak kiri dan otak kanan perlu mendapat perhatian yang serius dalam penyusunan kurikulum matematika (dan juga mata pelajaran lainnya) pada masa yang akan datang.
musik bikin cerdas ?
Musik menurut berbagai penelitian dapat merangsang kecerdasan anak. Musik dapat merangsang pikiran, memperbaiki konsenstrasi dan ingatan,
meningkatkan aspek kognitif, membangun kecerdasan emosional. Malahan Musik diyakini bisa menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri. Sehingga anak yang mendapat pelajaran musik, akan tubuh menjadi orang yang berpikiran logis, cerdas, kreatif, dan punya empati yang tinggi seperti dikutip dari Ibu dan Anak. Benarkah? Tapi, musik jenis apa saja yang mampu membuat anak cerdas?
Musik dianggap para ahli unsur yang penting untuk menumbuhkan kecerdasan anak. Ini, karena gelombang alfa yang dihantarkan lewat musik konon dapat menstimulasi dan meningkatkan kecerdasan. Menurut penelitian, di semua bangsa maju di dunia seperti Jerman, Amerika, Jepang, Inggris, Australia dan negara Eropa pada umumnya menerapkan pelajaran musik pada sekolah mereka dalam waktu yang lama, yakni 75 menit setiap minggu khusus anak kelas 1-4 SD, yang dimaksudkan untuk membantu kecerdasaan anak didiknya. Para bangsa yang maju tersebut bahkan bangga menamai dirinya sebagai bangsa yang musikal. Karena mereka dapat memainkan instrumen musik, menyanyi dengan baik, dan bisa mengapresiasikan musik.
Penelitian yang pernah dilakukan di Inggris pada anak usia TK yang kemampuan membacanya di bawah rata-rata, sesudah jam belajarnya ditambah dengan pelajaran musik, mereka dapat mengejar teman mereka yang di kelompok rata-rata. Pada anak-anak tersebut, mereka diajak bernyanyi diiringi musik dalam sebuah kelompok melalui latihan ketepatan nada dan irama disertai dengan latihan kepekaan emosi. Program yang terstruktur dan dapat dinikmati anak-anak ini meningkatkan kemampuan otak, yang dibuktikan dengan peningkatan kemampuan baca mereka.
Musik Klasik Masih Terbaik
Sebenarnya, jenis musik seperti apa sih, yang paling baik dan tepat dipergunakan untuk mencerdaskan seorang anak? Weny Savitry S. Pandia, Psi Msi, psikolog Unika Atmajaya Jakarta ini, menyebut bahwa dari hasil penelitian sampai saat ini, musik klasik lah yang bila diperdengarkan pada janin, bayi dan anak, yang paling baik menstimulasi perkembangan otaknya.
Mengutip pernyataan Alfred Tomatis, psikolog Amerika yang telah meneliti berbagai jenis suara dan nada musik, penerimaan terbaik yang bisa cepat direspon oleh bayi dalam kandungan ibunya adalah suara ibunya sendiri, dan suara musik klasik karya Mozart. Penelitian tersebut ditunjang juga dengan alat-alat kedokteran yang cukup canggih (MRI dan PET Scan) sehingga akurasinya dapat dipertanggung jawabkan.
Bayi yang baru lahir memiliki ribuan sel otak. Cuma, sel-sel itu jika tak dipergunakan akan mati (diganti yang baru) dengan sendirinya. Tapi, bila sering distimulasi salah satunya dengan mendengarkan musik klasik, sel-sel tersebut tidak cepat mati, bahkan bisa sangat efektif untuk memicu perkembangan kecerdasan otak si anak. "Bayi yang masih dalam kandungan bila distimulasi dengan musik klasik, dengan komposisi karya Mozart berjudul Eine Kleine Nachmusik, sangat bagus memicu perkembangan sel-sel otak. Ini karena Eine Kleine memiliki irama, harmoni dan ritme, yang terstruktur dengan luar biasa," papar Weny.
Namun Weny menegaskan, tidak menutup kemungkinan jenis musik lain juga bisa dipergunakan sebagai salah satu stimulan. "Di Jepang dan India, sekarang ini sudah mulai mencoba menerapkan musik-musik khas di sana sebagai alternatif lain untuk diperdengarkan pada bayi maupun anak, yang tujuannya untuk menstimulasi perkembangan otak anak," ungkapnya. (yz)
meningkatkan aspek kognitif, membangun kecerdasan emosional. Malahan Musik diyakini bisa menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri. Sehingga anak yang mendapat pelajaran musik, akan tubuh menjadi orang yang berpikiran logis, cerdas, kreatif, dan punya empati yang tinggi seperti dikutip dari Ibu dan Anak. Benarkah? Tapi, musik jenis apa saja yang mampu membuat anak cerdas?
Musik dianggap para ahli unsur yang penting untuk menumbuhkan kecerdasan anak. Ini, karena gelombang alfa yang dihantarkan lewat musik konon dapat menstimulasi dan meningkatkan kecerdasan. Menurut penelitian, di semua bangsa maju di dunia seperti Jerman, Amerika, Jepang, Inggris, Australia dan negara Eropa pada umumnya menerapkan pelajaran musik pada sekolah mereka dalam waktu yang lama, yakni 75 menit setiap minggu khusus anak kelas 1-4 SD, yang dimaksudkan untuk membantu kecerdasaan anak didiknya. Para bangsa yang maju tersebut bahkan bangga menamai dirinya sebagai bangsa yang musikal. Karena mereka dapat memainkan instrumen musik, menyanyi dengan baik, dan bisa mengapresiasikan musik.
Penelitian yang pernah dilakukan di Inggris pada anak usia TK yang kemampuan membacanya di bawah rata-rata, sesudah jam belajarnya ditambah dengan pelajaran musik, mereka dapat mengejar teman mereka yang di kelompok rata-rata. Pada anak-anak tersebut, mereka diajak bernyanyi diiringi musik dalam sebuah kelompok melalui latihan ketepatan nada dan irama disertai dengan latihan kepekaan emosi. Program yang terstruktur dan dapat dinikmati anak-anak ini meningkatkan kemampuan otak, yang dibuktikan dengan peningkatan kemampuan baca mereka.
Musik Klasik Masih Terbaik
Sebenarnya, jenis musik seperti apa sih, yang paling baik dan tepat dipergunakan untuk mencerdaskan seorang anak? Weny Savitry S. Pandia, Psi Msi, psikolog Unika Atmajaya Jakarta ini, menyebut bahwa dari hasil penelitian sampai saat ini, musik klasik lah yang bila diperdengarkan pada janin, bayi dan anak, yang paling baik menstimulasi perkembangan otaknya.
Mengutip pernyataan Alfred Tomatis, psikolog Amerika yang telah meneliti berbagai jenis suara dan nada musik, penerimaan terbaik yang bisa cepat direspon oleh bayi dalam kandungan ibunya adalah suara ibunya sendiri, dan suara musik klasik karya Mozart. Penelitian tersebut ditunjang juga dengan alat-alat kedokteran yang cukup canggih (MRI dan PET Scan) sehingga akurasinya dapat dipertanggung jawabkan.
Bayi yang baru lahir memiliki ribuan sel otak. Cuma, sel-sel itu jika tak dipergunakan akan mati (diganti yang baru) dengan sendirinya. Tapi, bila sering distimulasi salah satunya dengan mendengarkan musik klasik, sel-sel tersebut tidak cepat mati, bahkan bisa sangat efektif untuk memicu perkembangan kecerdasan otak si anak. "Bayi yang masih dalam kandungan bila distimulasi dengan musik klasik, dengan komposisi karya Mozart berjudul Eine Kleine Nachmusik, sangat bagus memicu perkembangan sel-sel otak. Ini karena Eine Kleine memiliki irama, harmoni dan ritme, yang terstruktur dengan luar biasa," papar Weny.
Namun Weny menegaskan, tidak menutup kemungkinan jenis musik lain juga bisa dipergunakan sebagai salah satu stimulan. "Di Jepang dan India, sekarang ini sudah mulai mencoba menerapkan musik-musik khas di sana sebagai alternatif lain untuk diperdengarkan pada bayi maupun anak, yang tujuannya untuk menstimulasi perkembangan otak anak," ungkapnya. (yz)
Jumat, 24 Oktober 2008
kenapa musik itu hebat.....
Alasan mendengarkan musik antara lain untuk membantu mengatasi kebosanan atau melepaskan stres. Sebenarnya alunan nada itu juga bisa berfungsi sebagai stimulasi yang dapat mempengaruhi kecerdasan anak.
Getaran musik yang masuk melalui telinga serta mempengaruhi kejiwaan, juga melalui neuron di otak. Ahli saraf dari Harvard University, Mark Tramo, M.D. mengatakan bahwa didalam otak manusia, jutaan neuron dari sirkuit secara unik menjadi aktif ketika kita mendengar musik. Neuron-neuron ini menyebar ke berbagai daerah di otak, termasuk pusat auditori di belahan kiri dan belahan kanan. Rupanya mulai dari sinilah kaitan antara musik dan kecerdasan terjadi.
Bukan berarti orangtua harus membelikan anaknya alat-alat musik yang super mahal untuk si kecil. Orangtua juga tak wajib mendominasi rumah dengan komposisi dari para komposer ternama dunia yang rumit. Awalnya, biarkan musik menghiasi ruang di sekitar anak-anak. Putarkan lagu di radio lalu orangtua dapat ikut bernyanyi bersama si kecil.
Pendidik neuroscience dan penulis buku Early Childhood Connections: The Journal of Music and Movement-Based Learning, Dr. Dee Joy Coulter mengaktan, melalui kegiatan bermain dan mendengar musik, anak dapat memperoleh manfaatnya. Dia mengklasifikasikan lagu-lagu, gerakan dan permainan anak sebagai latihan untuk otak yang brilian, yang mengenalkan anak pada pola bicara,keterampilan-keterampilan sensory motor
dan strategi gerakan yang penting.
Tak hanya perkembangan bahasa dan kosa kata anak meningkat melalui permainan yang mengandung musik, namun juga logika dan keterampilan-keterampilan beriramanya. Logika membuat anak nantinya mampu mengorganisasi ide dan mampu memecahkan masalah. Berbagai manfaat yang didapat dari musik, pendidikan prasekolah pun menggunakan musik sebagai bagian dari proses pendidikan.
Pakar pendidikan musik dari Ohio of State University, AS, Jim McCutcheon M.M.Ed dalam artikelnya Private Music Lesson for Kids memaparkan, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan orangtua sebelum mengajak si kecil belajar di kelas musik yaitu perkembangan mental dan fisik anak. Teliti apakah rentang perhatian si kecil bisa lebih dari 2 menit. Pada tahun awal, anak setidaknya memiliki kemampuan mendengarkan, memperhatikan dan mengikuti arahan yang diberikan selama 15-30 menit.
Kemudian, McCutcheon juga menyarankan orangtua agar memperhatikan alat musik yang dimainkan telah sesuai perkembangan usia anak. Seperti terompet yang tidak sesuai untuk anak usia di bawah 10 tahun. Lebih sesuai jika anak usia tersebut diberikan latihan piano, gitar, biola dan alat musik perkusi. Ia juga meminta orangtua agar seksama melakukan pemilihan guru musik, sedapat mungkin pilih guru yang mahir berinteraksi dengan anak-anak
“Pertimbangkan juga, apakah orangtua juga bisa meluangkan waktu untuk melihat anak berlatih musik. Dengan demikian, orangtua bisa melihat perkembangan dan potensi anak di bidang alat musik tersebut,” ujarnya.(berbagai sumber/rin)
Getaran musik yang masuk melalui telinga serta mempengaruhi kejiwaan, juga melalui neuron di otak. Ahli saraf dari Harvard University, Mark Tramo, M.D. mengatakan bahwa didalam otak manusia, jutaan neuron dari sirkuit secara unik menjadi aktif ketika kita mendengar musik. Neuron-neuron ini menyebar ke berbagai daerah di otak, termasuk pusat auditori di belahan kiri dan belahan kanan. Rupanya mulai dari sinilah kaitan antara musik dan kecerdasan terjadi.
Bukan berarti orangtua harus membelikan anaknya alat-alat musik yang super mahal untuk si kecil. Orangtua juga tak wajib mendominasi rumah dengan komposisi dari para komposer ternama dunia yang rumit. Awalnya, biarkan musik menghiasi ruang di sekitar anak-anak. Putarkan lagu di radio lalu orangtua dapat ikut bernyanyi bersama si kecil.
Pendidik neuroscience dan penulis buku Early Childhood Connections: The Journal of Music and Movement-Based Learning, Dr. Dee Joy Coulter mengaktan, melalui kegiatan bermain dan mendengar musik, anak dapat memperoleh manfaatnya. Dia mengklasifikasikan lagu-lagu, gerakan dan permainan anak sebagai latihan untuk otak yang brilian, yang mengenalkan anak pada pola bicara,keterampilan-keterampilan sensory motor
dan strategi gerakan yang penting.
Tak hanya perkembangan bahasa dan kosa kata anak meningkat melalui permainan yang mengandung musik, namun juga logika dan keterampilan-keterampilan beriramanya. Logika membuat anak nantinya mampu mengorganisasi ide dan mampu memecahkan masalah. Berbagai manfaat yang didapat dari musik, pendidikan prasekolah pun menggunakan musik sebagai bagian dari proses pendidikan.
Pakar pendidikan musik dari Ohio of State University, AS, Jim McCutcheon M.M.Ed dalam artikelnya Private Music Lesson for Kids memaparkan, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan orangtua sebelum mengajak si kecil belajar di kelas musik yaitu perkembangan mental dan fisik anak. Teliti apakah rentang perhatian si kecil bisa lebih dari 2 menit. Pada tahun awal, anak setidaknya memiliki kemampuan mendengarkan, memperhatikan dan mengikuti arahan yang diberikan selama 15-30 menit.
Kemudian, McCutcheon juga menyarankan orangtua agar memperhatikan alat musik yang dimainkan telah sesuai perkembangan usia anak. Seperti terompet yang tidak sesuai untuk anak usia di bawah 10 tahun. Lebih sesuai jika anak usia tersebut diberikan latihan piano, gitar, biola dan alat musik perkusi. Ia juga meminta orangtua agar seksama melakukan pemilihan guru musik, sedapat mungkin pilih guru yang mahir berinteraksi dengan anak-anak
“Pertimbangkan juga, apakah orangtua juga bisa meluangkan waktu untuk melihat anak berlatih musik. Dengan demikian, orangtua bisa melihat perkembangan dan potensi anak di bidang alat musik tersebut,” ujarnya.(berbagai sumber/rin)
Musik sangat penting untuk perkembangan anak?
Tidak perlu dipungkiri, musik mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan kita. Dan pengaruh positif musik dalam kehidupan kita merupakan suatu topik menarik untuk dibicarakan.
Menarik karena pengaruh positif tersebut relatif tidak terlihat [intangible] walaupun konkrit [dapat kita rasakan]. Pengaruh positif musik tersebut bahkan sudah terjadi pada saat awal perkembangan kita sebagai individu.
Musik terbukti sangat membantu perkembangan otak, perkembangan indera, perkembangan kemampuan bahasa, dan kemampuan sosial anak usia dini [hingga 6 tahun]. Dalam beberapa penelitian neuromusikal, musik terbukti membantu perkembangan otak manusia khususnya pada planum temporale bagian kiri, di mana bagian otak ini berperan besar dalam perkembangan bahasa. Dengan hasil penelitian ini, musik dianggap mampu membantu perkembangan bahasa anak.
Sebuah fakta menarik tentang perkembangan bayi terjadi pada awal abad 20:
Di panti-panti asuhan di Eropa dan Amerika terjadi bencana besar di mana angka kematian bayi berusia di bawah satu tahun mendekati 100%(1), walaupun bayi-bayi itu mendapatkan nutrisi yang cukup. Bencana tersebut mulai dapat teratasi di sebuah panti asuhan di Jerman, setelah pihak panti asuhan menyewa seorang wanita sebagai pengasuh untuk memberikan stimulasi afeksi pada bayi-bayi di sana. Angka kematian yang mendekati 100% tersebut secara drastis menurun setelah bayi-bayi itu diberikan cinta dan sayang oleh si pengasuh.
Bagaimanakah memberikan rasa cinta dan sayang kepada bayi? Tiga cara utama untuk mengkomunikasikan cinta dan sayang kepada bayi adalah melalui berbicara, bernyanyi, dan memberikan sentuhan. Kegiatan musikal dapat dengan baik menyampaikan cinta dan sayang itu kepada bayi. Salah satu metode yang efektif dan sering digunakan adalah motherese. Motherese adalah cara khusus berbicara ibu kepada bayinya. Cara ini sarat dengan elemen musikal melalui variasi tinggi nada suara, irama, dinamika, dan warna suara ibu [atau pengasuh]. Ingat-ingatlah kembali ketika Anda melakukannya pada anak Anda [atau keponakan Anda]. Dengan cara ini anak bukan hanya merasakan cinta dan sayang, namun ia juga mulai belajar bahasa lisan.
Rangsangan ritmik pada bayi berupa timangan juga terbukti membantu anak untuk lebih cepat mendapatkan bobot yang optimal. Dalam timangan, anak diajak untuk melibatkan seluruh tubuhnya melakukan gerakan ritmik, gerakan teratur berdasarkan ketukan tertentu. Anak yang mendapat timangan juga akan lebih cepat dalam perkembangan indera penglihatan dan pendengaran, serta terbukti lebih cepat mendapatkan siklus tidurnya.
Kegiatan bermusik juga membantu perkembangan kemampuan motorik anak. Secara alamiah, elemen ritmik pada musik dapat membuat anak menggerakkan tangan, kepala, dan kakinya. Dengan cara yang tepat, rangsangan ritmik pada anak akan membuatnya belajar mengkoordinasi organ tubuhnya untuk berespon atau melakukan sesuatu dengan baik dan benar [memegang sesuatu, melompat, berjinjit, dll.]
Melalui musik, anak juga belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain. Sebagai contoh adalah permainan hom pim pa, dan sut. Dalam permainan ini kemampuan anak untuk mengeksekusi gerakan sesuai ritme sangat diperlukan: jika terlambat akan dianggap curang, jika terlalu cepat akan sangat dirugikan. Hampir seluruh permainan anak-anak yang dilakukan bersama-sama menggunakan musik dalam bentuk gerak dan lagu. Gerak dan lagu ini membantu anak untuk melibatkan aspek motorik, intelektual, dan emosi anak dalam sebuah kegiatan bersama.
Jika kita perhatikan dengan seksama beberapa paragraf di atas, kita dapat melihat bahwa musik dapat membantu anak-anak untuk mengaktualkan potensi motorik, intelektual, dan emosinya. Dan jika kita rujuk pada akar kata pendidikan [Inggris: education, dari bahasa latin: educare yang berarti mengeluarkan, mengaktualkan, dan mengembangkan potensi seseorang] maka musik adalah juga sarana pendidikan bagi anak. Musik dapat membantu anak untuk berkembang, untuk mengaktualkan potensi-potensinya.
Selamat bersenang-senang sambil bermusik dengan anak-anak Anda, masih belum terlambat bagi kita untuk 'mendidik' mereka dengan berkegiatan musik bersama.
-p. b. adi-
(1) Bencana tersebut diberi nama marasmus. Marasmus merujuk pada kondisi di mana bayi yang berusia di bawah satu tahun akan meninggal jika tidak cukup menerima cinta dan sayang.
Menarik karena pengaruh positif tersebut relatif tidak terlihat [intangible] walaupun konkrit [dapat kita rasakan]. Pengaruh positif musik tersebut bahkan sudah terjadi pada saat awal perkembangan kita sebagai individu.
Musik terbukti sangat membantu perkembangan otak, perkembangan indera, perkembangan kemampuan bahasa, dan kemampuan sosial anak usia dini [hingga 6 tahun]. Dalam beberapa penelitian neuromusikal, musik terbukti membantu perkembangan otak manusia khususnya pada planum temporale bagian kiri, di mana bagian otak ini berperan besar dalam perkembangan bahasa. Dengan hasil penelitian ini, musik dianggap mampu membantu perkembangan bahasa anak.
Sebuah fakta menarik tentang perkembangan bayi terjadi pada awal abad 20:
Di panti-panti asuhan di Eropa dan Amerika terjadi bencana besar di mana angka kematian bayi berusia di bawah satu tahun mendekati 100%(1), walaupun bayi-bayi itu mendapatkan nutrisi yang cukup. Bencana tersebut mulai dapat teratasi di sebuah panti asuhan di Jerman, setelah pihak panti asuhan menyewa seorang wanita sebagai pengasuh untuk memberikan stimulasi afeksi pada bayi-bayi di sana. Angka kematian yang mendekati 100% tersebut secara drastis menurun setelah bayi-bayi itu diberikan cinta dan sayang oleh si pengasuh.
Bagaimanakah memberikan rasa cinta dan sayang kepada bayi? Tiga cara utama untuk mengkomunikasikan cinta dan sayang kepada bayi adalah melalui berbicara, bernyanyi, dan memberikan sentuhan. Kegiatan musikal dapat dengan baik menyampaikan cinta dan sayang itu kepada bayi. Salah satu metode yang efektif dan sering digunakan adalah motherese. Motherese adalah cara khusus berbicara ibu kepada bayinya. Cara ini sarat dengan elemen musikal melalui variasi tinggi nada suara, irama, dinamika, dan warna suara ibu [atau pengasuh]. Ingat-ingatlah kembali ketika Anda melakukannya pada anak Anda [atau keponakan Anda]. Dengan cara ini anak bukan hanya merasakan cinta dan sayang, namun ia juga mulai belajar bahasa lisan.
Rangsangan ritmik pada bayi berupa timangan juga terbukti membantu anak untuk lebih cepat mendapatkan bobot yang optimal. Dalam timangan, anak diajak untuk melibatkan seluruh tubuhnya melakukan gerakan ritmik, gerakan teratur berdasarkan ketukan tertentu. Anak yang mendapat timangan juga akan lebih cepat dalam perkembangan indera penglihatan dan pendengaran, serta terbukti lebih cepat mendapatkan siklus tidurnya.
Kegiatan bermusik juga membantu perkembangan kemampuan motorik anak. Secara alamiah, elemen ritmik pada musik dapat membuat anak menggerakkan tangan, kepala, dan kakinya. Dengan cara yang tepat, rangsangan ritmik pada anak akan membuatnya belajar mengkoordinasi organ tubuhnya untuk berespon atau melakukan sesuatu dengan baik dan benar [memegang sesuatu, melompat, berjinjit, dll.]
Melalui musik, anak juga belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain. Sebagai contoh adalah permainan hom pim pa, dan sut. Dalam permainan ini kemampuan anak untuk mengeksekusi gerakan sesuai ritme sangat diperlukan: jika terlambat akan dianggap curang, jika terlalu cepat akan sangat dirugikan. Hampir seluruh permainan anak-anak yang dilakukan bersama-sama menggunakan musik dalam bentuk gerak dan lagu. Gerak dan lagu ini membantu anak untuk melibatkan aspek motorik, intelektual, dan emosi anak dalam sebuah kegiatan bersama.
Jika kita perhatikan dengan seksama beberapa paragraf di atas, kita dapat melihat bahwa musik dapat membantu anak-anak untuk mengaktualkan potensi motorik, intelektual, dan emosinya. Dan jika kita rujuk pada akar kata pendidikan [Inggris: education, dari bahasa latin: educare yang berarti mengeluarkan, mengaktualkan, dan mengembangkan potensi seseorang] maka musik adalah juga sarana pendidikan bagi anak. Musik dapat membantu anak untuk berkembang, untuk mengaktualkan potensi-potensinya.
Selamat bersenang-senang sambil bermusik dengan anak-anak Anda, masih belum terlambat bagi kita untuk 'mendidik' mereka dengan berkegiatan musik bersama.
-p. b. adi-
(1) Bencana tersebut diberi nama marasmus. Marasmus merujuk pada kondisi di mana bayi yang berusia di bawah satu tahun akan meninggal jika tidak cukup menerima cinta dan sayang.
ada apa dengan kurikulum musik nasional?

Beberapa waktu ini sering terbersit di benak, apa yang telah diberikan pendidikan nasional kita untuk perkembangan musik. Selalu pecinta musik menimbang, apakah pendidikan musik di sekolah-sekolah sudah menumbuhkan kecintaan siswa terhadap musik?
Apabila pertanyaan tersebut muncul, dengan sangat menyesal jawaban yang kerap muncul adalah ‘belum’. Pendidikan musik di sekolah belum mampu mendorong seorang siswa untuk mencintai musik.
Rasanya berbeda sekali dengan pendidikan mata pelajaran lainnya. Banyak siswa jatuh cinta pada matematika ataupun antropologi karena bersinggungan dengan mata pelajaran tersebut di sekolah. Dan kurikulum pelajaran tersebut menjawab minat dan keingintahuan siswa akan pelajaran tersebut.
Namun tampaknya minat besar seorang anak di bidang musik belum mampu dijawab dengan memuaskan oleh kurikulum musik sekolah umum saat ini. Pendidikan musik di sekolah terasa belum penting karena memang belum menggali potensi anak didik.
Lebih banyak orang berpikir menjadi seorang fisikawan karena terinspirasi mata pelajaran sekolah, bukan oleh suatu institusi riset fisika ataupun tokoh fisika yang bersinggungan dengan hidup mereka.
Bila dibandingkan dengan musik, jarang inspirasi jadi musisi muncul karena mata pelajaran musik di sekolah. Mereka lebih banyak yang terinspirasi oleh band-band yang mereka temui, ataupun karena mereka tergabung dalam suatu ekstrakurikuler tertentu di sekolah, bukan karena pelajaran seni musik intrakurikuler di sekolah.
Pendidikan musik belum diproyeksikan menjadi sesuatu yang penting, sehingga sering terlupakan. Karena itu pula pengaruhnya pada anak didik dan juga pada outcome tidak sebesar mata pelajaran lainnya.
Musik di sekolah tidak cukup untuk banyak peserta didik. Ketika banyak peserta didik yang mengikuti bimbingan belajar agar sukses di mata pelajaran pilihannya di sekolah, cukup banyak peserta didik yang berpaling pada pendidikan musik di institusi selain sekolah untuk membangun kemampuan musik siswa.
Kala kursus-kursus menjadi suplemen untuk banyak mata pelajaran lain seperti kimia dan ekonomi, di Indonesia justru kursus musik menjadi pemeran utama dibandingkan dengan pelajaran yang didapat di sekolah.
Sedangkan bagi mereka yang tidak berkesempatan mengecap pendidikan informal musik, lebih mengandalkan naluri bermusik dan otodidak daripada pendidikan musik di sekolah.
Itulah keadaannya, bahwa musik di pendidikan formal sekolah masih menjadi anak tiri di ranah sendiri.
Untuk Sementara
Untuk sementara ini, harus disadari secara penuh oleh pelaku pendidikan, khususnya institusi pendidikan musik bahwa merekalah yang memegang kualitas pendidikan musik Indonesia.
Kursus-kursus inilah yang terus menjadi barometer kualitas pendidikan musik di Indonesia sampai beberapa waktu ke depan, sampai kurikulum sekolah umum dapat menawarkan pelayanan yang lebih memuaskan dalam pendidikan musik.
Tanggung jawab ini bukan mainan belaka. Terutama karena sampai saat ini pendidikan musik masih sangat terbatas jangkauannya. Sekolah-sekolah musik pun belum sebanyak kursus-kursus Bahasa Inggris yang menjamur di mana-mana. Hal yang sama juga berlaku bagi guru-guru privat musik.
Kualitas musik di Indonesia, termasuk musisi, adalah sebagian besar cerminan kualitas pendidikan yang ditawarkan pendidikan ‘informal’ tersebut, baru kemudian tawaran pendidikan ‘formal’.
Jadi kualitas pendidikan musik di institusi pendidikan musik haruslah terus dikembangkan, karena saat ini merekalah yang merupakan ujung tombak sekaligus hulu geliat musik di sekitar kita.
Begitu pula dengan pendidikan musik di sekolah-sekolah formal beserta dengan kurikulumnya, harus berkembang sampai dengan pendidikan sekolah mengambil alih kunci pendidikan musik di Indonesia. Begitulah yang seharusnya.
Sampai pada waktunya, institusi pendidikan musik dan guru privat musiklah yang harus berjuang keras, menjaga dan meningkatkan pendidikan musik tanah air.
Untuk semua pelaku pendidikan musik, di sekolah maupun sanggar, selamat berjuang… Dan untuk seluruh pelaku dan insan pendidikan, selamat hari pendidikan nasional.
pendidikan musik di negara asing
Norwegia menawarkan pendidikan musik pada berbagai tingkat, mulai dari usia anak-anak hingga tingkat doktor dan musikologis.
Diantara para musikologis Norwegia yang memiliki reputasi internasional adalah Finn Benestad dan Dag Schelderup-Ebbe dengan penelitian mereka terhadap Grieg, dan Harald Herresthal dengan penelitiannya terhadap musik Norwegia pada tahun 1800. Pusat penelitian musik adalah Universitas Oslo, Bergen dan Trondheim serta Akademi Musik Norwegia di Oslo.
Di atas sistem pendidikan adalah pendidikan musik tinggi, yang ditawarkan oleh college dan universitas. Gelar tertinggi diberikan oleh Akademi Musik Norwegia di Oslo, sementara college dan universitas di Bergen, Trondheim, Stavanger, Kristiansand dan Tromsø masing-masing memiliki fakultas konservatori. Daftar lengkap program pendidikan musik dapat diperoleh dari direktori Pusat Informasi Musik Norwegia.
Masing-masing daerah di Norwegia diharuskan untuk memberikan program pendidikan musik minimum di tingkat pendidikan menengah atas (upper secondary school). Daftar lengkap sekolah menengah atas yang menawarkan program pendidikan musik dapat dibaca di Pedlex – Informasi Sekolah Norwegia. Beberapa folk high school dengan program satu tahun juga memberikan pelajaran musik. Daftar lengkap sekolah ini dapat diperoleh dari organisasi folk high school.
Institut Musik Barratt Due di Oslo merupakan satu-satunya sekolah yang menawarkan program khusus bagi anak-anak muda yang memiliki bakat musik luar biasa. Sekolah ini menyelenggarakan kelas-kelas bagi anak-anak usia pra-sekolah hingga tingkat konservatori, dimana orkestra mereka telah dikagumi secara luas.
Sejak tahun 1998, undang-undang Norwegia mengharuskan semua kotapraja untuk memberikan pendidikan seni kepada anak-anak. Hal ini menghasilkan kegiatan setelah sekolah yang menawarkan kursus di bidang musik, tari, teater, menggambar, melukis dan sebagainya. Dewan Norwegia untuk Sekolah dan Seni bertindak sebagai sumber bagi kotapraja Norwegia dan memiliki hubungan dengan beberapa sekolah seni.
Pendidikan musik juga dapat diberikan bagi anggota masyarakat termuda. Norwegia memiliki beberapa tempat penitipan anak yang memiliki spesialisasi di bidang musik. Sementara Early Childhood Music Association of Norway menyelenggarakan kursus bagi wanita hamil dan orang tua yang memiliki bayi.
Diantara para musikologis Norwegia yang memiliki reputasi internasional adalah Finn Benestad dan Dag Schelderup-Ebbe dengan penelitian mereka terhadap Grieg, dan Harald Herresthal dengan penelitiannya terhadap musik Norwegia pada tahun 1800. Pusat penelitian musik adalah Universitas Oslo, Bergen dan Trondheim serta Akademi Musik Norwegia di Oslo.
Di atas sistem pendidikan adalah pendidikan musik tinggi, yang ditawarkan oleh college dan universitas. Gelar tertinggi diberikan oleh Akademi Musik Norwegia di Oslo, sementara college dan universitas di Bergen, Trondheim, Stavanger, Kristiansand dan Tromsø masing-masing memiliki fakultas konservatori. Daftar lengkap program pendidikan musik dapat diperoleh dari direktori Pusat Informasi Musik Norwegia.
Masing-masing daerah di Norwegia diharuskan untuk memberikan program pendidikan musik minimum di tingkat pendidikan menengah atas (upper secondary school). Daftar lengkap sekolah menengah atas yang menawarkan program pendidikan musik dapat dibaca di Pedlex – Informasi Sekolah Norwegia. Beberapa folk high school dengan program satu tahun juga memberikan pelajaran musik. Daftar lengkap sekolah ini dapat diperoleh dari organisasi folk high school.
Institut Musik Barratt Due di Oslo merupakan satu-satunya sekolah yang menawarkan program khusus bagi anak-anak muda yang memiliki bakat musik luar biasa. Sekolah ini menyelenggarakan kelas-kelas bagi anak-anak usia pra-sekolah hingga tingkat konservatori, dimana orkestra mereka telah dikagumi secara luas.
Sejak tahun 1998, undang-undang Norwegia mengharuskan semua kotapraja untuk memberikan pendidikan seni kepada anak-anak. Hal ini menghasilkan kegiatan setelah sekolah yang menawarkan kursus di bidang musik, tari, teater, menggambar, melukis dan sebagainya. Dewan Norwegia untuk Sekolah dan Seni bertindak sebagai sumber bagi kotapraja Norwegia dan memiliki hubungan dengan beberapa sekolah seni.
Pendidikan musik juga dapat diberikan bagi anggota masyarakat termuda. Norwegia memiliki beberapa tempat penitipan anak yang memiliki spesialisasi di bidang musik. Sementara Early Childhood Music Association of Norway menyelenggarakan kursus bagi wanita hamil dan orang tua yang memiliki bayi.
PENDIDIKAN MUSIK...PENTINGKAH?
"Buat apa kamu belajar musik, sudah aja kamu belajar matematika atau fisika, biar kamu jadi anak pintar."
"ah, bu saya nyuruh anak saya les musik biar dia ada kesibukan aja, dari pada dia main gak karuan."
Pernahkah Anda mendengar kedua kalimat di atas atau bahkan Anda sendiri yang pernah mengalaminya?
Kita mungkin menyadari bahwa memang pendidikan musik sampai saat ini masih menjadi sesuatu hal yang baru bagi kita yang hidup di Negri tercinta ini. Bagi sebagian masyarakat dan para pemangku kebijakan, musik bukan merupakan sesuatu hal yang penting, musik hanyalah sebagai hiburan, musik hanyalah pengisi waktu bagi anak-anak. Musik tidak akan memberikan kontribusi untuk kehidupan masa datang, musik tidak akan memberikan sesuatu profesi yang menjanjikan. Bahkan dilingkungan sekolah pun masih banyak yang menganggap bahwa musik bukan suatu mata pelajaran yang begitu penting, betulkah?
Banyak guru dan orang tua anak baik itu yang belajar disekolah formal ataupun informal yang memandang sebelah mata tentang pendidikan musik. Sehingga apabila anaknya memiliki kekurangan pada mata pelajaran tertentu, maka orang tua menganggap anaknya "kurang pandai", tetapi apabila anak memiliki nilai bagus pada mata pelajaran seni baik itu seni musik, seni rupa atau seni tari, orang tua menganggap hal tersebut bukan yang luar biasa, padahal anak tersebut mempunyai potensi dalam mata pelajaran tersebut yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Nah, disinilah perlunya kesadaran guru dan orang tua untuk mengetahui potensi apa yang terdapat pada anak-anaknya.
Hal yang sama terjadi pada sekolah informal, misalnya kursus musik. Karena anggapan awalnya para orang tua mengkursuskan anaknya hanya untuk mengisi waktu luang saja, maka pengawasan dirumah pun tidak serius, misalnya mengatur jam latihan atau meminta dan mengawasi anaknya untuk berlatih. Kenapa harus orang tua? Karena waktu terbanyak adalah di rumah dalam hal ini orang tualah yang mempunyai waktu terbanyak untuk mengawasi anaknya, guru les hanya bertemu 40-60 menit saja dalam seminggu. Kerjasama orang tua dengan guru les sangat ditekankan dalam hal ini apabila ingin mencapai kesuksesan dalam pendidikan musik.
Berbicara mengenai mata pelajaran di sekolah, pada kurikulum 2007, terdapat sejumlah mata pelajaran yang salah satunya mata pelajaran Seni dan Budaya. Jika diamati uraian bahasannya, mata pelajaran Seni dan Budaya ini terdiri atas bahan ajaran pendidikan seni rupa, seni musik, seni tari dan seni teater.
Mata pelajaran ini disajikan mulai dari kelas 1 SD sampai dengan kelas III SMA, dengan alokasi waktu mungkin sekitar 2 jam pelajaran setiap minggu. Ya, hanya 2 jam saja pelajaran seni diberikan di sekolah. Dengan alokasi waktu yang disediakan dan bahan ajar yang beragam, pada umumnya para guru tidak dapat menyelenggarakan pembelajaran sebagaimana mestinya. Apalagi kalau di sekolah tersebut hanya terdapat guru seni musik saja, maka nyaris pelajaran seni yang lain akan ditinggalkan. Disamping itu, ada diantara mereka yang berpendapat bahwa pendidikan musik merupakan pelajaran yang tidak penting, sangat disayangkan dengan pendapat itu. Alasannya karena mata pelajaran pendidikan musik tidak di-UAN-kan.
Padahal apabila ditelaah lebih lanjut, menurut para ahli, pendidikan musik merupakan sarana yang paling efektif bagi pendidikan kreativitas. Pendidikan musik juga dapat menjadi sarana pendidikan afektif untuk menyalurkan emosi dan ekspresi anak. Selain itu, pendidikan musik dapat menjadi pendidikan keterampilan. Jadi secara konseptual, pendidikan musik sangat besar peranannya bagi proses perkembangan anak, terutama di Sekolah Dasar.
Sebagai materi pembelajaran, mata pelajaran Seni dan Budaya perlu di pahami guru, mau dibawa kemana anak didik kita sehingga tercapai arah yang tepat. Eisner (1972) dan Chapman (1978) mengatakan bahwa, arah atau pendekatan seni baik itu seni rupa, seni musik, seni tari ataupun seni teater, secara umum dapat dipilah menjadi dua pendekatan, yakni seni dalam pendidikan dan pendidikan melalui seni.
Pertama, seni dalam pendidikan. Secara hakiki materi seni penting diberikan kepada anak. Maksudnya adalah, keahlian melukis, menggambar, menyanyi, menari, memainkan musik dan keterampilan lainnya perlu ditanamkan kepada anak dalam rangka pengembangan kesenian dan pelestarian kesenian. Seni dalam pendidikan ini sejalan dengan konsep pendidikan yaitu sebagai proses pembudayaan yang dilakukan dengan upaya mewariskan atau menanamkan nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi berikutnya (baca: guru kepada murid). Oleh sebab itu, seni dalam pendidikan merupakan upaya kita sebagai pendidik seni dan juga lembaga yang menaungi kita untuk mewariskan, melestarikan, dan mengembangkan berbagai jenis kesenian yang ada baik lokal maupun mancanegara.
Sangat beragam sekali kesenian yang berkembang di Indonesia ini. Dari mulai kesenian tradisional sampai pada kesenian modern, banyak terhampar di depan mata kita. Misalnya batik, ukiran, anyaman, lukisan, pupuh sunda, gamelan, kecapi, biola, piano, tari tayub dan tari bedaya, balet sampai pada berbagai jenis seni kontemporer. Dari kekayaan tersebut apabila tidak diwariskan kepada anak melalui jalur pendidikan maka kita akan menunggu saatnya kesenian tersebut akan dijauhi oleh anak kita.
Dari uraian di atas, maka seni dalam pendidikan merupakan sebuah program yang mengharapkan siswa pandai dalam bidang seni. Pandai menggambar, pintar menyanyi, terampil dalam menari, pandai memainkan alat musik dan sebagainya. Memang terasa sangat sulit sekali apabila diterapkan pada sekolah umum, karena harus mempertimbangkan kualifikasi guru terhadap bidang seni tertentu, waktu yang cukup, dan sarana- prasarana yang memadai. Tetapi bagi orang tua yang ingin anaknya terampil dalam bidang seni tertentu jangan khawatir, sudah banyak terhampar di depan mata kita sanggar-sanggar, kursus musik, kursus menggambar dan sebagainya, untuk kita pergunakan seoptimal mungkin bagi perkembangan anak kita.
Kedua, pendidikan melalui seni. Plato menyatakan bahwa seni seharusnya menjadi dasar pendidikan. Dari pendapat ini kita bisa beranggapan bahwa sesungguhnya seni atau pendidikan seni mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang pendidikan secara umum.
Konsep pendidikan melalui seni juga dikemukan oleh Dewey bahwa seni seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan bukannya untuk kepentingan seni itu sendiri. Maka melalui pendidikan melalui seni tercapai tujuan pendidikan yaitu keseimbangan rasional dan emosional, intelektual dan kesadaran estetis.
Merujuk pada konsep pendidikan melalui seni, maka pelaksanaannya lebih ditekankan pada proses pembelajaran dari pada produk. Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka sasaran belajar pendidikan seni tidak mengharapkan siswa pandai menyanyi, pandai memainkan alat musik, pandai menggambar dan terampil menari. Melainkan sebagai sarana ekspresi, imajinasi dan berkreativitas untuk menumbuhkan keseimbangan rasional dan emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Kalau memang ternyata melalui pendidikan seni dapat menghasilkan seorang seniman maka itu merupakan dampak saja.
Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka guru pun dapat melaksanakannya. Kekurangan kemampuan guru dalam hal pendidikan seni dapat ditutup dengan penggunaan berbagai media pembelajaran yang memadai. Seperti yang telah dipaparkan di atas, pendidikan musik khususnya banyak sekali memberikan kontribusi bagi perkembangan dan keseimbangan rasional, emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Banyak sekali hasil penelitian yang memberikan informasi kepada kita tentang pentingnya pendidikan seni khususnya musik bagi perkembangan anak, berikut beberapa hasil penelitian yang penulis rangkum dari Bulletin of the Council for Research in Music Education, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pendidikan musik/pendidikan seni, memudahkan perkembangan anak dalam bahasa dan kecepatan membaca.
Aktivitas bermusik/berkesenian sangat bernilai bagi pengalaman anak dalam berekspresi dan lain-lain.
Aktivitas bermusik/berkesenian membantu perkembangan sikap positif terhadap sekolah dan mengurangi tingkat ketidakhadiran siswa di sekolah.
Keterlibatan dalam kegiatan bermusik/berkesenian secara langsung mempertinggi perkembangan kreativitas.
Pendidikan musik/pendidikan seni memudahkan perkembangan sosial, penyesuian diri, dan perkembangan intelektual.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, ternyata pendidikan musik sangat penting untuk perkembangan anak di masa depan. Pendidikan musik tidak lagi sebagai mata pelajaran tambahan yang sewaktu-waktu bisa saja dihilangkan atau hanya sekedar pengisi waktu luang bagi anak-anak yang kursus musik. Bukankah pendidikan itu merupakan sesuatu hal yang penting untuk menolong siswa dalam mengembangkan intelektual, emosional dan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka? Hal ini merupakan tugas para guru dan orang tua untuk mewujudkan hal tersebut. Maka pendidikan musik/pendidikan seni adalah bagian penting dan efektif untuk mewujudkan hal tersebut, walaupun sampai saat ini masih diragukan dan dikesampingkan.
Penulis adalah staf pengajar UPI Saya Sandie Gunara setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah
"ah, bu saya nyuruh anak saya les musik biar dia ada kesibukan aja, dari pada dia main gak karuan."
Pernahkah Anda mendengar kedua kalimat di atas atau bahkan Anda sendiri yang pernah mengalaminya?
Kita mungkin menyadari bahwa memang pendidikan musik sampai saat ini masih menjadi sesuatu hal yang baru bagi kita yang hidup di Negri tercinta ini. Bagi sebagian masyarakat dan para pemangku kebijakan, musik bukan merupakan sesuatu hal yang penting, musik hanyalah sebagai hiburan, musik hanyalah pengisi waktu bagi anak-anak. Musik tidak akan memberikan kontribusi untuk kehidupan masa datang, musik tidak akan memberikan sesuatu profesi yang menjanjikan. Bahkan dilingkungan sekolah pun masih banyak yang menganggap bahwa musik bukan suatu mata pelajaran yang begitu penting, betulkah?
Banyak guru dan orang tua anak baik itu yang belajar disekolah formal ataupun informal yang memandang sebelah mata tentang pendidikan musik. Sehingga apabila anaknya memiliki kekurangan pada mata pelajaran tertentu, maka orang tua menganggap anaknya "kurang pandai", tetapi apabila anak memiliki nilai bagus pada mata pelajaran seni baik itu seni musik, seni rupa atau seni tari, orang tua menganggap hal tersebut bukan yang luar biasa, padahal anak tersebut mempunyai potensi dalam mata pelajaran tersebut yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Nah, disinilah perlunya kesadaran guru dan orang tua untuk mengetahui potensi apa yang terdapat pada anak-anaknya.
Hal yang sama terjadi pada sekolah informal, misalnya kursus musik. Karena anggapan awalnya para orang tua mengkursuskan anaknya hanya untuk mengisi waktu luang saja, maka pengawasan dirumah pun tidak serius, misalnya mengatur jam latihan atau meminta dan mengawasi anaknya untuk berlatih. Kenapa harus orang tua? Karena waktu terbanyak adalah di rumah dalam hal ini orang tualah yang mempunyai waktu terbanyak untuk mengawasi anaknya, guru les hanya bertemu 40-60 menit saja dalam seminggu. Kerjasama orang tua dengan guru les sangat ditekankan dalam hal ini apabila ingin mencapai kesuksesan dalam pendidikan musik.
Berbicara mengenai mata pelajaran di sekolah, pada kurikulum 2007, terdapat sejumlah mata pelajaran yang salah satunya mata pelajaran Seni dan Budaya. Jika diamati uraian bahasannya, mata pelajaran Seni dan Budaya ini terdiri atas bahan ajaran pendidikan seni rupa, seni musik, seni tari dan seni teater.
Mata pelajaran ini disajikan mulai dari kelas 1 SD sampai dengan kelas III SMA, dengan alokasi waktu mungkin sekitar 2 jam pelajaran setiap minggu. Ya, hanya 2 jam saja pelajaran seni diberikan di sekolah. Dengan alokasi waktu yang disediakan dan bahan ajar yang beragam, pada umumnya para guru tidak dapat menyelenggarakan pembelajaran sebagaimana mestinya. Apalagi kalau di sekolah tersebut hanya terdapat guru seni musik saja, maka nyaris pelajaran seni yang lain akan ditinggalkan. Disamping itu, ada diantara mereka yang berpendapat bahwa pendidikan musik merupakan pelajaran yang tidak penting, sangat disayangkan dengan pendapat itu. Alasannya karena mata pelajaran pendidikan musik tidak di-UAN-kan.
Padahal apabila ditelaah lebih lanjut, menurut para ahli, pendidikan musik merupakan sarana yang paling efektif bagi pendidikan kreativitas. Pendidikan musik juga dapat menjadi sarana pendidikan afektif untuk menyalurkan emosi dan ekspresi anak. Selain itu, pendidikan musik dapat menjadi pendidikan keterampilan. Jadi secara konseptual, pendidikan musik sangat besar peranannya bagi proses perkembangan anak, terutama di Sekolah Dasar.
Sebagai materi pembelajaran, mata pelajaran Seni dan Budaya perlu di pahami guru, mau dibawa kemana anak didik kita sehingga tercapai arah yang tepat. Eisner (1972) dan Chapman (1978) mengatakan bahwa, arah atau pendekatan seni baik itu seni rupa, seni musik, seni tari ataupun seni teater, secara umum dapat dipilah menjadi dua pendekatan, yakni seni dalam pendidikan dan pendidikan melalui seni.
Pertama, seni dalam pendidikan. Secara hakiki materi seni penting diberikan kepada anak. Maksudnya adalah, keahlian melukis, menggambar, menyanyi, menari, memainkan musik dan keterampilan lainnya perlu ditanamkan kepada anak dalam rangka pengembangan kesenian dan pelestarian kesenian. Seni dalam pendidikan ini sejalan dengan konsep pendidikan yaitu sebagai proses pembudayaan yang dilakukan dengan upaya mewariskan atau menanamkan nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi berikutnya (baca: guru kepada murid). Oleh sebab itu, seni dalam pendidikan merupakan upaya kita sebagai pendidik seni dan juga lembaga yang menaungi kita untuk mewariskan, melestarikan, dan mengembangkan berbagai jenis kesenian yang ada baik lokal maupun mancanegara.
Sangat beragam sekali kesenian yang berkembang di Indonesia ini. Dari mulai kesenian tradisional sampai pada kesenian modern, banyak terhampar di depan mata kita. Misalnya batik, ukiran, anyaman, lukisan, pupuh sunda, gamelan, kecapi, biola, piano, tari tayub dan tari bedaya, balet sampai pada berbagai jenis seni kontemporer. Dari kekayaan tersebut apabila tidak diwariskan kepada anak melalui jalur pendidikan maka kita akan menunggu saatnya kesenian tersebut akan dijauhi oleh anak kita.
Dari uraian di atas, maka seni dalam pendidikan merupakan sebuah program yang mengharapkan siswa pandai dalam bidang seni. Pandai menggambar, pintar menyanyi, terampil dalam menari, pandai memainkan alat musik dan sebagainya. Memang terasa sangat sulit sekali apabila diterapkan pada sekolah umum, karena harus mempertimbangkan kualifikasi guru terhadap bidang seni tertentu, waktu yang cukup, dan sarana- prasarana yang memadai. Tetapi bagi orang tua yang ingin anaknya terampil dalam bidang seni tertentu jangan khawatir, sudah banyak terhampar di depan mata kita sanggar-sanggar, kursus musik, kursus menggambar dan sebagainya, untuk kita pergunakan seoptimal mungkin bagi perkembangan anak kita.
Kedua, pendidikan melalui seni. Plato menyatakan bahwa seni seharusnya menjadi dasar pendidikan. Dari pendapat ini kita bisa beranggapan bahwa sesungguhnya seni atau pendidikan seni mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang pendidikan secara umum.
Konsep pendidikan melalui seni juga dikemukan oleh Dewey bahwa seni seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan bukannya untuk kepentingan seni itu sendiri. Maka melalui pendidikan melalui seni tercapai tujuan pendidikan yaitu keseimbangan rasional dan emosional, intelektual dan kesadaran estetis.
Merujuk pada konsep pendidikan melalui seni, maka pelaksanaannya lebih ditekankan pada proses pembelajaran dari pada produk. Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka sasaran belajar pendidikan seni tidak mengharapkan siswa pandai menyanyi, pandai memainkan alat musik, pandai menggambar dan terampil menari. Melainkan sebagai sarana ekspresi, imajinasi dan berkreativitas untuk menumbuhkan keseimbangan rasional dan emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Kalau memang ternyata melalui pendidikan seni dapat menghasilkan seorang seniman maka itu merupakan dampak saja.
Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka guru pun dapat melaksanakannya. Kekurangan kemampuan guru dalam hal pendidikan seni dapat ditutup dengan penggunaan berbagai media pembelajaran yang memadai. Seperti yang telah dipaparkan di atas, pendidikan musik khususnya banyak sekali memberikan kontribusi bagi perkembangan dan keseimbangan rasional, emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Banyak sekali hasil penelitian yang memberikan informasi kepada kita tentang pentingnya pendidikan seni khususnya musik bagi perkembangan anak, berikut beberapa hasil penelitian yang penulis rangkum dari Bulletin of the Council for Research in Music Education, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pendidikan musik/pendidikan seni, memudahkan perkembangan anak dalam bahasa dan kecepatan membaca.
Aktivitas bermusik/berkesenian sangat bernilai bagi pengalaman anak dalam berekspresi dan lain-lain.
Aktivitas bermusik/berkesenian membantu perkembangan sikap positif terhadap sekolah dan mengurangi tingkat ketidakhadiran siswa di sekolah.
Keterlibatan dalam kegiatan bermusik/berkesenian secara langsung mempertinggi perkembangan kreativitas.
Pendidikan musik/pendidikan seni memudahkan perkembangan sosial, penyesuian diri, dan perkembangan intelektual.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, ternyata pendidikan musik sangat penting untuk perkembangan anak di masa depan. Pendidikan musik tidak lagi sebagai mata pelajaran tambahan yang sewaktu-waktu bisa saja dihilangkan atau hanya sekedar pengisi waktu luang bagi anak-anak yang kursus musik. Bukankah pendidikan itu merupakan sesuatu hal yang penting untuk menolong siswa dalam mengembangkan intelektual, emosional dan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka? Hal ini merupakan tugas para guru dan orang tua untuk mewujudkan hal tersebut. Maka pendidikan musik/pendidikan seni adalah bagian penting dan efektif untuk mewujudkan hal tersebut, walaupun sampai saat ini masih diragukan dan dikesampingkan.
Penulis adalah staf pengajar UPI Saya Sandie Gunara setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah
Sabtu, 18 Oktober 2008
Pergulatan Revolusi Nasional Memangsa Sang Pembangun
Pengembaraan Intelektual Amir, Medan Keteguhan dan Kecerdasan Politik
MASA hidup Amir Sjarifuddin terentang sepanjang paruh pertama abad ke-20. Usia itu habis diserap oleh penemuan, keyakinan, dan kegagalan akan harapan-harapan besar dari jamannya.
Itu terungkap dalam kata-kata "kemerdekaan nasional", "kedaulatan rakyat", dan "sosialisme".Seperti juga di negeri-negeri bergolak lain pada massa itu, di Indonesia pun semua itu dipadatkan dalam sepatah kata saja: "revolusi".
Amir, sebagaimana pemuda seangkatan lainnya, disadarkan tentang arti kata "revolusi" dan janji-janjinya. Pertama melalui apa yang dipelajari dari guru Belanda mereka tentang Revolusi Prancis, ketika masih belajar di sekolah menengah dan sekolah tinggi hukum. Memang, ia lebih banyak berkiblat kepada Revolusi Prancis, dan bukan revolusi-revolusi Amerika atau Rusia.
Bagi Amir "Prinsip Harapan" (meminjam kata-kata Ernst Bloch) untuk Indonesia pertama-tama memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga slogan: "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Rangkaian konsep ini didasarkan pada gagasan akademis Belanda tentang Taal-, Land- en Volkerakunde sebagai keseluruhan, dan diambil oleh para mahasiswa yang menamakan diri bangsa Indonesia di tahun 1928—yang menurutnya seperti Yacobin, sebuah kelompok yang berperan dalam revolusi Prancis. Tetapi "Prinsip Harapan" itu juga berfungsi lain. Sebagai sarana memasuki Indonesia yang baru dirumuskan, yang sepertinya sudah ada, bisa dimengerti dan diterima oleh semua. Prinsip ini juga membentuk suatu labirin yang kabur dan goyah walaupun telah diberi contoh-contoh untuk meneranginya.
Sepanjang 1928-1948, Amir telah mengabdi pada kebenaran-kebenaran politik yang diyakininya. Dan untuk itu ia pun harus menempuh masa perjuangan yang penuh pergulatan, kekerasan, pengkhianatan, persatuan, serta keberpihakan. Namun dalam percaturan masa ini Amir merupakan salah satu pilar penyangga dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas dan lugas, serta berani dalam bertindak mengisi ruang kepemimpinan yang kosong—karena kegagalan gerakan radikal sebelumnya. Moderasi melanda hampir seluruh oposisi, sehingga dirinya mampu menerobos sebagai bagian dari empat serangkai Indonesia setelah Revolusi Nasional ‘45 dikobarkan yaitu Soekarno, Hatta, Syahrir, dan terakhir dia sendiri.
Amir Sjarifuddin lahir 27 April 1907 di Medan. Ayahnya Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya Basunu Siregar (1890-1931) dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli. Berkat koneksi, Soripada dapat diangkat menjadi asisten hoofddjaksa di Medan. Namun karena memukul seorang tahanan dipenjara Sibolga, ia dipecat dari jabatannya pada bulan April 1925 dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara tiga setengah tahun, ditambah lima tahun tidak boleh bekerja sebagai pegawai negeri. Hukuman itu kemudian diperingan, dan terakhir dia menjadi seorang jurutulis pemerintah daerah di Tarutung.
Sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, yang meninggal secara tragis dengan menggantung diri di dapur rumahnya dengan alasan yang tidak diketahui. Amir sendiri adalah pribadi berbeda dari Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Amir tidak banyak menulis. Hanya beberapa karangan pendek pernah ditulisnya di sana-sini, tidak meninggalkan autobiografi, kumpulan pidato atau pun catatan-catatan.
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir datang di Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem. Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvijn, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang. Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Militan Anti Fasis Ditengah Ditengah Sorak Sorai Efuria Kebangkitan Asia
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936. Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik di awal tahun 40-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), jawatan rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Banyak kesan muncul tentang pribadi Amir dari kawan-kawannya, juga musuhnya. Soedjatmoko mendeskripsikan pribadi Amir sepanjang pengetahuannya tentang Amir sebagai "orang yang tinggi pengetahuannya, dengan kehangatan dan pesona pribadi yang luar biasa". Orang-orang yang pernah mengunjungi Amir di rumahnya yang sederhana di Menteng Pulo, teringat pada sambutannya yang langsung dan lugas. Kawan-kawan sekolahnya dari Gymnasium, Haarlem, juga mengenangnya sebagai seorang yang sangat senang bergaul. Membaca Hatta dan Sjahrir orang akan diberi kesan yang sama sekali berbeda. Seorang ambisius yang mentah, tidak berwatak, tidak berkeyakinan, yang gampang berganti pikiran seperti berganti baju. Seorang yang berangasan dan sewenang-wenang.
Kontra Revolusi 1948 Memahkotai Karakter Lembek Revolusi Nasional ‘45
Pasca kegagalan pemberontakan 1926—yang memunculkan reaksi keras rejim kolonial Hindia Belanda (berupa penangkapan, pembuangan, dan pembunuhan terhadap ribuan kaum kiri), kaum komunis kembali coba membangun organisasi secara ilegal, yang dipimpin oleh Musso. Kesalahan dalam membaca situasi obyektif menyebabkan mereka tetap berada dibawah tanah ketika revolusi nasional pecah—dimana berbagai spektrum politik lain telah muncul secara terbuka dihadapan massa rakyat pada saat itu, dan mengambil kepemimpinan politik. Disamping itu terpecahnya konsentrasi kader-kader komunis ke berbagai organisasi yang mereka bentuk waktu itu (PKI, PBI, dan Partai Sosialis), mengakibatkan kelemahan tersendiri bagi organisasi secara keseluruhan.
Persetujuan Renville adalah puncak kesalahan reaksioner, yang membawa Indonesia pada tepi jurang kolonialisme. Tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kesalahan besar selanjutnya ialah kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis. Kaum Komunis pada waktu itu melupakan satu hal pokok yang pernah dikatakan oleh Lenin: "Soal pokok dari setiap revolusi adalah soal kekuasaan negara". Dengan bubarnya kabinet Amir Sjarifuddin, maka terbukalah jalan bagi elemen borjuasi komprador untuk memegang pimpinan pemerintahan, dan dengan demikian juga kepimpinan Revolusi Nasional. Sedangkan kaum Komunis mengisolasi dirinya dalam oposisi.
Dapat dikatakan, bahwa saat itulah revolusi nasional benar-benar berada dalam bahaya, yang makin lama makin membesar. Revolusi nasional makin lama makin jelas terperosok kedalam jurang kapitalisasi (penyerahan) kepada imperialisme Belanda cs, akibat politik kompromis yang sangat reaksioner dari elemen borjuasi Indonesia pemegang pimpinan pemerintahan. Politik kompromis ini makin menguntungkan imperialisme Belanda dan makin membesarkan bahaya bagi Indonesia.
Sesudah kaum Komunis tidak berada di pemerintahan, dan kemudian mulai giat bekerja dikalangan rakyat, mereka mulai menyadari kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang telah mereka buat. Antara lain kelemahan organisasi Partai serta organisasi massa, terutama dikalangan kaum buruh dan tani. Mereka mulai insaf, bahwa terutama harus diusahakan penyelesaian soal agraria secepatnya, karena memang sangat kurang mendapat perhatian mereka, padahal masaalah tani adalah masaalah yang penting bagi Revolusi Nasional Indonesia.
Juga mulai diinsafi, bahwa dengan tidak adanya sokongan, terutama dari rakyat pekerja (buruh, tani-pekerja, dan pekerja lainnya) yang terorganisasi rapi, tidaklah mungkin mewujudkan hegemoni klas buruh dalam revolusi nasional kita ini. Tidak mungkin pula membentuk suatu pemerintahan kerakyatan yang kuat dan berdiri tegak. Oleh karenanya mereka kemudian berusaha dengan segiat-giatnya mengorganisasikan massa rakyat pekerja, agar dalam waktu yang pendek dapat menyusun organisasi yang rapi di berbagai sektor rakyat, yang berkewajiban sebagai tulang-punggung revolusi nasional kita.
Kemudian PKI menetapkan bahwa organisasi ini, dalam susunan yang baru, harus dengan tegas membatalkan persetujuan Linggarjati dan Renville, karena dalam prakteknya telah menjadi sumber dari segala keruwetan diantara pimpinan-pimpinan dan rakyat. Dengan dibatalkannya persetujuan Linggarjati dan Renville berarti Republik Indonesia merdeka sepenuhnya, dan rakyat tidak terikat lagi oleh persetujuan-persetujuan yang mengikat dan memperbudak. Hapusnya persetujuan Linggarjati dan Renville berarti juga, kekuasaan Belanda di Indonesia adalah pelanggaran kedaulatan, dan oleh karena itu tentara Belanda harus segera diusir. Hapusnya persetudjuan Linggadjati dan Renville menghilangkan segala kebimbangan dikalangan beberapa partai untuk memperluas dan meneguhkan hubungan republik dengan negeri-negeri lain. Dengan demikian republik juga mendapat kesempatan untuk menerobos blokade Belanda yang mengisolasi republik dari negeri-negeri luar dalam lapangan ekonomi dan politik.
Penolakan tersebut bukan karena Belanda terbukti tidak setia dan telah menginjak-injak persetujuan. Namun lebih karena alasan prinsipil, bahwa persetujuan-persetujuan itu mewujudkan negara yang pada hakekatnya adalah negara jajahan. Sebab itulah PKI akhirnya mengeluarkan slogan: "Merdeka se-penuh-penuhnya".
Penolakan persetujuan Linggadjati dan Renville berarti juga otokritik yang keras dikalangan PKI. Dan pengakuan salah ini kemudian coba untuk disampaikan pula kepada Rakyat-banyak. Dalam tulisan “Jalan Barunya” untuk mengkritik hal tersebut, Musso dengan jelas mengatakan:
“Kita saat ini sudah seharusnya menggabungkan diri dengan gerakan-gerakan anti-imperialis di Asia, di Eropa dan di Amerika, terutama sekali dengan Rakjat negeri Belanda jang progresif, jang sebagian besar dari mereka dipimpin oleh CPN. Partai ini walaupun sudah membuat kesalahan-kesalahan, adalah satu-satunja Partai klas buruh di negeri Belanda jang sungguh-sungguh membantu gerakan kemerdekaan kita pada waktu sebelum dan sesudah peperangan dunia kedua. CPN adalah djuga mendjadi sekutu kita jang semestinja, dan perhubungan kita dengan CPN harus lebih dikokohkan lagi. Lain daripada itu PKI harus terus-menerus mendesak CPN supaja benar² meninggalkan politik jang bersembojan: "Unie-verband" jang djahat itu, dan menggantinya dengan politik "INDONESIA MERDEKA SEPENUH-PENUHNYA". Tujuan PKI ialah mendirikan Republik Indonesia berdasarkan Demokrasi Rakyat, yang meliputi seluruh daerah Indonesia dan bebas dari pengaruh imperialisme serta anjing penjaganya yaitu Negara”.
Jelas dan tegas dirumuskan dalam resolusi "Jalan Baru untuk Republik Indonesia" musuh yang utama adalah imperialisme Belanda yang harus diusir dari wilayah Indonesia dan menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia. Kaum komunis yang dituduh membikin sovyet di Madiun dan mengkhianati republik, justru menyatu dengan kekuatan rakyat yang teguh melawan Belanda.
Tapi bagi Hatta, dkk. musuhnya ialah PKI dan kekuatan progresif, bukan Imperialisme Belanda. Pembunuhan dan penyingkiran kekuatan komunis dan kekuatan progresif—melalui program rasionalisasi—telah melemahkan kekuatan republik yang memperjuangan kemerdekaan 100%, dan mengambil jalan kompromi dengan imperialis/kolonialis Belanda. Penyelesaian kompromi ini terwujud dalam hasil Konferensi Meja Bundar, dan pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai penjajahan model baru. Indonesia tidak hanya masih terikat secara politik, ekonomi, dan militer pada Belanda, tapi Belanda membuat problem kolonial yang baru: menolak untuk menyerahkan Irian Barat!
Akhir hidup Amir Sjariffudin
Menghantar para juru runding ke Konferensi Meja Bundar, pemerintahan Hatta perlu memastikan bahwa perlawanan terhadap hasil dari konferensi—yang merugikan republik—harus dicegah. Untuk itu program rasionalisasi terhadap angkatan bersenjata perlu diajukan, yang dilanjutkan dengan titipan program Red Drive Proposals dari A.S, untuk memusnahkan kaum kiri/progresif. Provokasi diintensifkan untuk memancing reaksi dari kaum kiri, sampai puncaknya, pemerintahan Hatta menuduh PKI berupaya membentuk sovyet di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang saat itu peristiwa Madiun meletus sedang berada di Jogjakarta dalam rangka kongres SBKA turut ditangkap beserta beberapa kawannya.
19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam angkatan bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta.
MASA hidup Amir Sjarifuddin terentang sepanjang paruh pertama abad ke-20. Usia itu habis diserap oleh penemuan, keyakinan, dan kegagalan akan harapan-harapan besar dari jamannya.
Itu terungkap dalam kata-kata "kemerdekaan nasional", "kedaulatan rakyat", dan "sosialisme".Seperti juga di negeri-negeri bergolak lain pada massa itu, di Indonesia pun semua itu dipadatkan dalam sepatah kata saja: "revolusi".
Amir, sebagaimana pemuda seangkatan lainnya, disadarkan tentang arti kata "revolusi" dan janji-janjinya. Pertama melalui apa yang dipelajari dari guru Belanda mereka tentang Revolusi Prancis, ketika masih belajar di sekolah menengah dan sekolah tinggi hukum. Memang, ia lebih banyak berkiblat kepada Revolusi Prancis, dan bukan revolusi-revolusi Amerika atau Rusia.
Bagi Amir "Prinsip Harapan" (meminjam kata-kata Ernst Bloch) untuk Indonesia pertama-tama memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga slogan: "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Rangkaian konsep ini didasarkan pada gagasan akademis Belanda tentang Taal-, Land- en Volkerakunde sebagai keseluruhan, dan diambil oleh para mahasiswa yang menamakan diri bangsa Indonesia di tahun 1928—yang menurutnya seperti Yacobin, sebuah kelompok yang berperan dalam revolusi Prancis. Tetapi "Prinsip Harapan" itu juga berfungsi lain. Sebagai sarana memasuki Indonesia yang baru dirumuskan, yang sepertinya sudah ada, bisa dimengerti dan diterima oleh semua. Prinsip ini juga membentuk suatu labirin yang kabur dan goyah walaupun telah diberi contoh-contoh untuk meneranginya.
Sepanjang 1928-1948, Amir telah mengabdi pada kebenaran-kebenaran politik yang diyakininya. Dan untuk itu ia pun harus menempuh masa perjuangan yang penuh pergulatan, kekerasan, pengkhianatan, persatuan, serta keberpihakan. Namun dalam percaturan masa ini Amir merupakan salah satu pilar penyangga dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas dan lugas, serta berani dalam bertindak mengisi ruang kepemimpinan yang kosong—karena kegagalan gerakan radikal sebelumnya. Moderasi melanda hampir seluruh oposisi, sehingga dirinya mampu menerobos sebagai bagian dari empat serangkai Indonesia setelah Revolusi Nasional ‘45 dikobarkan yaitu Soekarno, Hatta, Syahrir, dan terakhir dia sendiri.
Amir Sjarifuddin lahir 27 April 1907 di Medan. Ayahnya Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya Basunu Siregar (1890-1931) dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli. Berkat koneksi, Soripada dapat diangkat menjadi asisten hoofddjaksa di Medan. Namun karena memukul seorang tahanan dipenjara Sibolga, ia dipecat dari jabatannya pada bulan April 1925 dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara tiga setengah tahun, ditambah lima tahun tidak boleh bekerja sebagai pegawai negeri. Hukuman itu kemudian diperingan, dan terakhir dia menjadi seorang jurutulis pemerintah daerah di Tarutung.
Sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, yang meninggal secara tragis dengan menggantung diri di dapur rumahnya dengan alasan yang tidak diketahui. Amir sendiri adalah pribadi berbeda dari Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Amir tidak banyak menulis. Hanya beberapa karangan pendek pernah ditulisnya di sana-sini, tidak meninggalkan autobiografi, kumpulan pidato atau pun catatan-catatan.
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir datang di Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem. Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvijn, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang. Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Militan Anti Fasis Ditengah Ditengah Sorak Sorai Efuria Kebangkitan Asia
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936. Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik di awal tahun 40-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), jawatan rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Banyak kesan muncul tentang pribadi Amir dari kawan-kawannya, juga musuhnya. Soedjatmoko mendeskripsikan pribadi Amir sepanjang pengetahuannya tentang Amir sebagai "orang yang tinggi pengetahuannya, dengan kehangatan dan pesona pribadi yang luar biasa". Orang-orang yang pernah mengunjungi Amir di rumahnya yang sederhana di Menteng Pulo, teringat pada sambutannya yang langsung dan lugas. Kawan-kawan sekolahnya dari Gymnasium, Haarlem, juga mengenangnya sebagai seorang yang sangat senang bergaul. Membaca Hatta dan Sjahrir orang akan diberi kesan yang sama sekali berbeda. Seorang ambisius yang mentah, tidak berwatak, tidak berkeyakinan, yang gampang berganti pikiran seperti berganti baju. Seorang yang berangasan dan sewenang-wenang.
Kontra Revolusi 1948 Memahkotai Karakter Lembek Revolusi Nasional ‘45
Pasca kegagalan pemberontakan 1926—yang memunculkan reaksi keras rejim kolonial Hindia Belanda (berupa penangkapan, pembuangan, dan pembunuhan terhadap ribuan kaum kiri), kaum komunis kembali coba membangun organisasi secara ilegal, yang dipimpin oleh Musso. Kesalahan dalam membaca situasi obyektif menyebabkan mereka tetap berada dibawah tanah ketika revolusi nasional pecah—dimana berbagai spektrum politik lain telah muncul secara terbuka dihadapan massa rakyat pada saat itu, dan mengambil kepemimpinan politik. Disamping itu terpecahnya konsentrasi kader-kader komunis ke berbagai organisasi yang mereka bentuk waktu itu (PKI, PBI, dan Partai Sosialis), mengakibatkan kelemahan tersendiri bagi organisasi secara keseluruhan.
Persetujuan Renville adalah puncak kesalahan reaksioner, yang membawa Indonesia pada tepi jurang kolonialisme. Tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kesalahan besar selanjutnya ialah kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis. Kaum Komunis pada waktu itu melupakan satu hal pokok yang pernah dikatakan oleh Lenin: "Soal pokok dari setiap revolusi adalah soal kekuasaan negara". Dengan bubarnya kabinet Amir Sjarifuddin, maka terbukalah jalan bagi elemen borjuasi komprador untuk memegang pimpinan pemerintahan, dan dengan demikian juga kepimpinan Revolusi Nasional. Sedangkan kaum Komunis mengisolasi dirinya dalam oposisi.
Dapat dikatakan, bahwa saat itulah revolusi nasional benar-benar berada dalam bahaya, yang makin lama makin membesar. Revolusi nasional makin lama makin jelas terperosok kedalam jurang kapitalisasi (penyerahan) kepada imperialisme Belanda cs, akibat politik kompromis yang sangat reaksioner dari elemen borjuasi Indonesia pemegang pimpinan pemerintahan. Politik kompromis ini makin menguntungkan imperialisme Belanda dan makin membesarkan bahaya bagi Indonesia.
Sesudah kaum Komunis tidak berada di pemerintahan, dan kemudian mulai giat bekerja dikalangan rakyat, mereka mulai menyadari kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang telah mereka buat. Antara lain kelemahan organisasi Partai serta organisasi massa, terutama dikalangan kaum buruh dan tani. Mereka mulai insaf, bahwa terutama harus diusahakan penyelesaian soal agraria secepatnya, karena memang sangat kurang mendapat perhatian mereka, padahal masaalah tani adalah masaalah yang penting bagi Revolusi Nasional Indonesia.
Juga mulai diinsafi, bahwa dengan tidak adanya sokongan, terutama dari rakyat pekerja (buruh, tani-pekerja, dan pekerja lainnya) yang terorganisasi rapi, tidaklah mungkin mewujudkan hegemoni klas buruh dalam revolusi nasional kita ini. Tidak mungkin pula membentuk suatu pemerintahan kerakyatan yang kuat dan berdiri tegak. Oleh karenanya mereka kemudian berusaha dengan segiat-giatnya mengorganisasikan massa rakyat pekerja, agar dalam waktu yang pendek dapat menyusun organisasi yang rapi di berbagai sektor rakyat, yang berkewajiban sebagai tulang-punggung revolusi nasional kita.
Kemudian PKI menetapkan bahwa organisasi ini, dalam susunan yang baru, harus dengan tegas membatalkan persetujuan Linggarjati dan Renville, karena dalam prakteknya telah menjadi sumber dari segala keruwetan diantara pimpinan-pimpinan dan rakyat. Dengan dibatalkannya persetujuan Linggarjati dan Renville berarti Republik Indonesia merdeka sepenuhnya, dan rakyat tidak terikat lagi oleh persetujuan-persetujuan yang mengikat dan memperbudak. Hapusnya persetujuan Linggarjati dan Renville berarti juga, kekuasaan Belanda di Indonesia adalah pelanggaran kedaulatan, dan oleh karena itu tentara Belanda harus segera diusir. Hapusnya persetudjuan Linggadjati dan Renville menghilangkan segala kebimbangan dikalangan beberapa partai untuk memperluas dan meneguhkan hubungan republik dengan negeri-negeri lain. Dengan demikian republik juga mendapat kesempatan untuk menerobos blokade Belanda yang mengisolasi republik dari negeri-negeri luar dalam lapangan ekonomi dan politik.
Penolakan tersebut bukan karena Belanda terbukti tidak setia dan telah menginjak-injak persetujuan. Namun lebih karena alasan prinsipil, bahwa persetujuan-persetujuan itu mewujudkan negara yang pada hakekatnya adalah negara jajahan. Sebab itulah PKI akhirnya mengeluarkan slogan: "Merdeka se-penuh-penuhnya".
Penolakan persetujuan Linggadjati dan Renville berarti juga otokritik yang keras dikalangan PKI. Dan pengakuan salah ini kemudian coba untuk disampaikan pula kepada Rakyat-banyak. Dalam tulisan “Jalan Barunya” untuk mengkritik hal tersebut, Musso dengan jelas mengatakan:
“Kita saat ini sudah seharusnya menggabungkan diri dengan gerakan-gerakan anti-imperialis di Asia, di Eropa dan di Amerika, terutama sekali dengan Rakjat negeri Belanda jang progresif, jang sebagian besar dari mereka dipimpin oleh CPN. Partai ini walaupun sudah membuat kesalahan-kesalahan, adalah satu-satunja Partai klas buruh di negeri Belanda jang sungguh-sungguh membantu gerakan kemerdekaan kita pada waktu sebelum dan sesudah peperangan dunia kedua. CPN adalah djuga mendjadi sekutu kita jang semestinja, dan perhubungan kita dengan CPN harus lebih dikokohkan lagi. Lain daripada itu PKI harus terus-menerus mendesak CPN supaja benar² meninggalkan politik jang bersembojan: "Unie-verband" jang djahat itu, dan menggantinya dengan politik "INDONESIA MERDEKA SEPENUH-PENUHNYA". Tujuan PKI ialah mendirikan Republik Indonesia berdasarkan Demokrasi Rakyat, yang meliputi seluruh daerah Indonesia dan bebas dari pengaruh imperialisme serta anjing penjaganya yaitu Negara”.
Jelas dan tegas dirumuskan dalam resolusi "Jalan Baru untuk Republik Indonesia" musuh yang utama adalah imperialisme Belanda yang harus diusir dari wilayah Indonesia dan menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia. Kaum komunis yang dituduh membikin sovyet di Madiun dan mengkhianati republik, justru menyatu dengan kekuatan rakyat yang teguh melawan Belanda.
Tapi bagi Hatta, dkk. musuhnya ialah PKI dan kekuatan progresif, bukan Imperialisme Belanda. Pembunuhan dan penyingkiran kekuatan komunis dan kekuatan progresif—melalui program rasionalisasi—telah melemahkan kekuatan republik yang memperjuangan kemerdekaan 100%, dan mengambil jalan kompromi dengan imperialis/kolonialis Belanda. Penyelesaian kompromi ini terwujud dalam hasil Konferensi Meja Bundar, dan pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai penjajahan model baru. Indonesia tidak hanya masih terikat secara politik, ekonomi, dan militer pada Belanda, tapi Belanda membuat problem kolonial yang baru: menolak untuk menyerahkan Irian Barat!
Akhir hidup Amir Sjariffudin
Menghantar para juru runding ke Konferensi Meja Bundar, pemerintahan Hatta perlu memastikan bahwa perlawanan terhadap hasil dari konferensi—yang merugikan republik—harus dicegah. Untuk itu program rasionalisasi terhadap angkatan bersenjata perlu diajukan, yang dilanjutkan dengan titipan program Red Drive Proposals dari A.S, untuk memusnahkan kaum kiri/progresif. Provokasi diintensifkan untuk memancing reaksi dari kaum kiri, sampai puncaknya, pemerintahan Hatta menuduh PKI berupaya membentuk sovyet di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang saat itu peristiwa Madiun meletus sedang berada di Jogjakarta dalam rangka kongres SBKA turut ditangkap beserta beberapa kawannya.
19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam angkatan bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta.
Jumat, 17 Oktober 2008
Globalisasi dan Perlawan
Pada tahun 1999, mass media di seluruh dunia ramai-ramai membicarakan fenomena baru: gerakan "anti-kapitalisme" internasional. Istilah ini muncul untuk pertama kalinya di Inggeris di bulan Juni, saat lembaga-lembaga finansial di London kena aksi unjuk rasa.
Kemudian aksi besar-besaran melawan pertemuan WTO di Seattle di bulan November juga dicap "anti-kapitalis". Arti kata "anti-kapitalisme" bukan sama dengan sosialis, tetapi fenomena ini memang hebat. Sepuluh tahun setelah kaum penguasa kapitalis berjaya saat rezim-rezim Eropa Timur ambruk, sebuah peristiwa yang didengungkan sebagai kemenangan mutlak pasar bebas, mass media borjuis harus mengakui bahwa semakin banyak manusia menolak sistem mereka.
Suasana anti-kapitalis menjadi cukup jelas dalam demonstrasi yang terjadi secara berturut-turut di Washington, Melbourne, Praha, Millau dan Nice, tetapi termanifestasi dalam bentuk lain pula: misalnya ketika sejuta warga Perancis mencoblos calon-calon Trotskys dalam pemilihan untuk parlemen Eropa. Di Eropa Timur, hasil jajak-jajak pendapat membuktikan bahwa kata "kapitalisme" memiliki asosisasi negatif bagi mayoritas rakyat. Di Amerika Latin telah terjadi serangkaian pemberontakan melawan agenda neoliberal. Demonstrasi-demonstrasi hanya merupakan puncak dari gunung es ketidakpuasan massa rakyat tertindas di seluruh dunia.
Demonstrasi anti-WTO di Seattle tentu saja harus menjadi titik tolak bagi diskusi kita. Banyak sekali kelompok dari seluruh dunia dan dari bermacam-macam sektor yang bersatu dalam aksi tersebut. Seperti tulis Luis Hernandez Navarro, seorang wartawan dari koran harian radikal La Jornada di Meksiko: "Kaum pecinta alam, petani dari Dunia Pertama, anggota serikat buruh, feminis, punk, aktivis HAM, wakil masyarakat adat, anak muda dan orang separo baya, warga Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Amerika Latin dan Asia" berkumpul di Seattle waktu itu. Kata dia, mereka semua bersatu dalam menolak slogan "Semua kekuatan untuk perusahaan-perusahaan transnasional!" yang menjadi agenda WTO.
Aksi protes itu menonjolkan sisi spontan; banyak orang yang mendengar tentang demo itu dan berangkat begitu saja. Namun dari sisi lain, banyak pendemo yang terlibat dalam organisasi yang bekerja keras selama berbulan-bulan untuk setting demo itu, dengan menjalin hubungan melalui internet, dan juga mempropagandakan isu-isu globalisasi dan perlawanan. Sejumlah pemikir terkemuka sangat berjasa pula dalam mengupas isu-isu ini, seperti Walden Bello, Susan George, Vandana Shiva, Noam Chomsky, Naomi Klein dan Pierre Bourdieu.
Menolak agenda neo-lib
Doktrin-doktrin neo-liberal pertama diucapkan dalam ideologi konservatif yang dijuluki "Thatcherism" di Inggeris dan "Reaganomics" di Amerika. Kemudian logika neo-lib disambut oleh golongan sosial demokratik dalam program "The Third Way" yang juga pro-kapitalis. Ide-ide neoliberal menjadi pondasi bagi kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga interasional seperti WTO, IMF dan Bank Dunia, dan program-program "reformasi ekonomi" yang diajukan oleh para politikus dan ahli ekonomi.
Pilar utama ideologi neolib adalah, bahwa aparatus negara seharusnya tidak ikut berperan dalam kegiatan-kegiatan pokok ekonomi nasional maupun internasional. Kita diajak kembali ke gagasan ortodoks yang bercokol sebelum depresi tahun 1930-an, yang dianjurkan oleh Adam Smith dan dipopularisasikan oleh Jean-Baptiste Say. Gagasan ini dikenal sebagai "liberalisme ekonomi" waktu itu, jadi versi baru dikenal dengan nama "neo-liberalisme". Para penyokongnya mau menurunkan pajak dari profit-profit kapitalis dan gaji tinggi, menjual BUMN kepada pihak swasta, melemahkan regulasi-regulasi yang mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, serta menghapuskan semua proteksi ekonomi yang dilakukan melalui bea cukai.
Menurut argumentasi mereka, segala intervensi pemerintah di dunia ekonomi semenjak tahun 1930-an hanya mengakibatkan industri-industri menjadi pemboros yang tidak efisien. Ambruknya blok Soviet, serta kemandegan dan kesengsaraan Amerika Selatan dan Afrika, menurut mereka telah membuktikan betapa celakanya konsekwensi intervensi pemerintah. Kemiskinan di dunia ketiga hanya dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan pasar bebas yang tak kenal ampun, melalui kegiatan WTO, IMF dan Bank Dunia.
Bila usaha-usaha ekonomi di"bebas"kan dari kontrol yang "semena-mena" itu, katanya nasib umat manusia bisa diperbaiki secara menyeluruh. Modal dapat mengalir dengan leluasa ke mana saja diperlukan sehingga barang-barang dan jasa-jasa akan dihasilkan di tempat yang paling cocok. Modal yang sudah terakumulasi tidak akan lagi tertambat dalam industri-industri "berkarat" yang tak berdayaguna, dan "monopoli tenaga kerja" yang dikuasai oleh serikat-serikat buruh jahat tidak lagi bisa menghalangi kenaikan produktivitas kerja secara "dinamis". Daerah-daerah dunia masing-masing dapat mengkhususkan dalam bidang produksi di mana mereka lebih mampu. Boleh jadi melalui proses-proses ini kaum kaya akan menjadi lebih kaya lagi, tetapi tidak apa-apa, karena lewat tumbuhnya penghasilan ekonomi secara umum, kekayaan itu akan bercucur ke bawah secara dikit berdikit (trickle down) untuk memperkaya rakyat jelata pula. Demikian argumentasi mereka.
Pandangan "neoliberal" semacam ini biasanya berasosiasi dengan teori "globalisasi". Menurut teori itu, restrukturalisasi dunia telah terjadi sehingga pengaliran modal bebas tanpa intervensi oleh pemerintah-pemerintah sudah tercapai. Kita sedang menghayati zaman kapitalisme multinasional (atau transnasional). Aparatus-aparatus negara adalah lembaga-lembaga yang kadaluwarsa, yang tidak lagi sanggup menghalangi perusahaan-perusahaan berpindah-pindah guna mencari keuntungan. Bila pemerintah-pemerintah ngotot berusaha melakukan halangan yang demikian, ekonomi mereka cuma akan menjadi ekonomi "terkepung" seperti Korea Utara atau Kombodja di bawah Pol Pot; dan bagaimanapun juga mereka tidak bisa melakukan hal itu karena para pemilik modal terlalu cerdik dan selalu akan mengelabui pemerintah-pemerintah tersebut. Sebuah pemerintah yang mengasihani para warganya paling banter bisa menyediakan lingkungan ekonomi yang paling menarik bagi para investor: pajak rendah, tenaga kerja "fleksibel", serikat buruh lemah, regulasi minimal.
Beberapa orang neolib yang mengaku sosial-demokratik (contohnya Anthony Giddens, yang menyiapkan teori-teori demi membenarkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Tony Blair di Inggeris), mengakui bahwa di masa lampau, intervensi oleh negara terkadang berperan positif. Namun menurut mereka, timbulnya sebuah ekonomi global telah merubah situasi politik. Dewasa ini, kontrol-kontrol atas kehidupan ekonomi hanya menghadirkan ketidakefisienan melulu, dan jika ekonomi tidak efisien, pasti kita kandas. Sehingga "globalisasi" dan "neoliberalisme" merupakan dua konsep yang berkaitan erat.
Dalam versi teori globalisasi tertentu yang agak berpengaruh, kemampuan modal untuk bercucuran ke sini-sana dengan leluasa sudah menjadi hal yang mutlak. Menurut pandangan ini, kita menghayati era "produksi tanpa bobot" (weightless production). Komputer, perangkat lunak dan internet sudah jauh lebih penting dibandingkan produk-produk logam yang "kadaluwarsa", dan perusahaan-perusahaan bisa luput dengan mudah dari genggaman negara-negara dengan memindahkan alat-alat produksi mereka secepat kilat. Negeri-negeri maju sudah bersifat paska-industrial, dan kelas perkerja di barat tidak lagi merupakan kekuatan yang berarti, karena industri manufaktur sedang berpindah ke dunia ketiga. Tinggal semacam masyarakat "sepertiga": di satu sisi ada kelas menengah (sepertiga dari penduduk) yang mempunyai cukup keterampilan (human capital) untuk mendapatkan gaji tinggi -- sedangkan di sisi lain "proletariat bawah" paling-paling bisa mencari pekerjaan sementara yang "fleksibel" dan tak terampil, dengan upah yang tidak bisa naik menjadi terlalu tinggi karena tersaingi oleh barang-barang murahan dari dunia ketiga.
Sementara itu, di dunia ketiga, massa rakyat tidak mempunyai pilihan lain kecuali menawarkan diri sebagai tenaga kerja murahan untuk perusahaan-perusahaan multinasional, dengan upah yang melarat. Pemerintah-pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengajak rakyat menyambut pasar bebas internasional. Industri pertanian mesti dibentuk kembali guna menghasilkan barang-barang yang bisa dijual di pasaran global. Pajak untuk membiayai dinas kesehatan, kesejahteraan serta pendidikan rakyat harus diminimalkan. Kaum buruh harus membanting tulang untuk menyambung hidup. Demikian skenario "globalisasi" ekstrim.
Namun para pengritik telah mengekspos banyak sekali kontradiksi dan kesalahan dalam doktrin-doktrin ini. Mereka sudah membuktikan bahwa negara-negara dunia ketiga yang menyambut pasar bebas biasanya tidak mengalami perbaikan nasib apapun. Selama dua dasawarsa "globalisasi", kondisi kebanyakan penduduk Afrika dan Amerika Selatan telah merosot. Penyerahan bidang tanah yang besar untuk pertanian monokultur sama sekali tidak meningkatkan pendapatan kaum tani, karena barang-barang yang sama juga dihasilkan di negara-negara lain sehingga harga-harga menurun terus. Pendapatan yang diterima, dimakan pula oleh bunga kredit yang harus dibayar, sementara lingkungan alam kaum tani sering rusak.
Mereka yang meninggalkan desa dan berpindah ke perkotaan mendapatkan pekerjaan kasar dan mesti bekerja selama 10 sampai 12 bahkan 16 jam sehari dalam kondisi yang merugikan kesehatan, serta hidup di daerah-daerah kumuh. Begitu laju bertumbuhan ekonomi global berkurang, mereka lekas menganggur. Kaum pekerja di barat memang mempunyai standar hidup yang lebih baik, tetapi tidak bisa dikatakan "beruntung" dari sebuai sistem yang sedang memperpanjang jam-jam kerja mereka (hari kerja seorang pekerja laki-laki di Amerika Serikat sekarang ini 8 persen lebih panjang dibandingkan dengan 25 tahun yang lalu). Upah mereka menurun atau paling banter tersendat. Di saat yang sama, para pengritik menunjukkan bagaimana tidak bersedianya para politisi dan birokrat untuk mengatur kegiatan perusahaan-perusahaan, telah menghadirkan pengrusakan lingkungan alam secara global yang dapat mengancam kehidupan umat manusia.
WTO, IMF, Perusahaan Multinasional dan Konsekwensi Aksi Seattle
Para paus neoliberalisme mentuntut agar semua kegiatan ekonomi oleh negara dihentikan, semua halangan bagi pengaliran modal dan barang-barang dihapuskan, dan semua hambatan untuk penggunaan hak-hak kepemilikan swasta dihilangkan. World Trade Organisation (Organisasi Perdagangan Sedunia -WTO) menerapkan kebijakan-kebijakan yang senada. Negara-negara yang tidak membuka sektor penyediaan jasa seperti telekomunikasi kepada investasi serta persaingan dari luar, bisa kena sanksi. Produk-produk dari luar negeri yang mengancam kesehatan orang atau lingkungan alam tidak boleh dilarang. Obat-obatan atau software harus dihasilkan dengan harga mahal supaya perusahaan-perusahaan multinasional dapat beruntung karena "hak cipta" mereka (walau sebenarnya yang menciptakan innovasi itu adalah kaum pekerja, bukan kaum majikan).
International Monetary Fund (Dana Internasional Moneter - IMF) bertindak lebih agresif lagi melalui Structural Adjustment Programs (restrukturalisasi) yang mendorong negara-negara untuk menghapuskan subsidi pada bahan-bahan pokok dan untuk menswastanisasi ekonomi.
Selain memaksa, para neolib juga rajin berargumentasi. Bermacam-macam konferensi, pertemuan puncak dan lembaga penelitian ramai-ramai merancang rencana untuk membentuk kembali kebijakan negara-negara seluruh dunia. Contohnya European Round Table (Meja Bundar Eropa) para industriawan, yang mendorong IMF, WTO dll untuk mendukung "reformasi" di bidang pendidikan (seperti biaya lebih tinggi bagi mahasiswa); World Water Council (Dewan Air Sedunia) yang mendesak agar penyediaan air diswastanisasi; atau Transatlantic Business Dialogue (Dialog Bisnis Trans-Atlantik -- semacam tim kerja para kapitalis terbesar), yang bekerjasama dengan wakil-wakil Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk merencanakan agenda-agenda WTO. Pertemuan semacam ini amat berpengaruh pada opini publik. Kolom-kolom surat kabar, berita-berita mass media, komentar-komentar di TV, laporan dari lembaga-lembaga riset dan departemen-departmen universitas semua ikut serta dalam proses propaganda tersebut. Selama bertahun-tahun proses itu behasil, sampai menimbulkan kesan, ideologi neoliberal tak dapat dikalahkan. Itu sebabnya kaum neolib begitu terperangah oleh demonstrasi di Seattle.
Kesuksesan di Seattle itu sebagian disebabkan oleh kontra-propaganda para aktivis anti-neoliberal. Melalui buku, seminar, kolom yang kadang-kadang berhasil diselipkan di dalam koran tertentu, sejumlah program televisi dan makalah akademis, mereka menandingi dan berusaha untuk mengekspos kesalahan-kesalahan argumentasi neolib. Kami kaum Marxis ikut partisipasi dalam upaya kontra-propaganda itu. Pada awal dasawarsa 1990-an kita masih agak terisolasi, berusaha berlayar melawan angin. Namun menjelang akhir dasawarsa tersebut, audiens kita bertumbuh secara hebat. Audiens yang bersedia menerima argumentasi kaum Marxis mungkin hanya bertumbuh berlipat 2, 3 atau 4; tapi audiens untuk para pemikir anti-neoliberal non-Marxis betumbuh lebih pesat.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Pengalaman tahun 1990-an sama sekali menyalahkan prediksi-prediksi neolib. "The New World Order" (Orde Baru Sedunia), yang digembar-gemborkan oleh Amerika Serikat seusai Perang Dingin sebagai dunia perdamaian, justeru melahirkan perang demi perang: di Teluk, Somalia, Cecnia, Bosnia, Serbia dll. "Keajaiban ekonomi" yang dijanjikan di bekas blok Soviet melalui diterapkannya pasar bebas terbukti cuma merupakan retorika kosong: padahal perekonomian Soviet ambruk secara hampir total. Kekuatan ekonomi kapitalis terbesar kedua, Jepang, terjerumus ke dalam sebuah krisis kemandegan ekonomi yang tiada hentinya, sedangkan di Eropa Barat angka pengangguran berfluktuasi sekitar 10 persen. Warga-warga Afrika mengalami kelaparan serta perang saudara secara bergantian -- karena kelaparan menimbulkan konflik yang hebat, sedangkan peperangan memperparah masalah pangan. Hanya di Asia terjadi suatu kemakmuran ekonomi tertentu, namun kesuksesan ini ambruk juga menjadi krisis moneter, sampai para ahli ekonomi borjuis dan lembaga ekonomi nyaris kehilangan akal.
Selain itu efek rumah kaca, sebuah ancaman terhadap lingkungan alam dan umat manusia yang mula-mula hanya diakui oleh sebuah minoritas ilmuwan, akhirnya menjadi topik hangat di seluruh dunia -- tetapi para penguasa kapitalis belum juga mau mengambil langkah serius untuk mengatasinya, karena langkah-langkah yang dibutuhkan akan mengurangi profit-profit mereka.
Yang mahapenting di sini adalah: hal-hal ini tidak lagi dilihat sebagai fenonema yang terisolasi tanpa kaitan satu sama lain. Masalah pangan, lingkungan alam, penindasan dan eksploitasi dimengerti sebagai sisi-sisi dari satu sistem global. Kampanye anti-imperialis, pro-lingkungan atau feminis, gerakan buruh, tani dan mahasiswa -- yang tercabik-cabik selama bertahun-tahun sebelumnya -- mulai bersatu. Kecenderungan ini telah memuncak dalam aksi unjuk rasa di Seattle.
Perdebatan (i): Apakah WTO dapat direformasi, atau mesti dihapuskan?
Barang tentu, sebuah gerakan yang mempersatukan banyak sektor, kampanye serta grup akan menghadapi perdebatan yang intensif, mengenai stategi, taktik dan orientasi teoritis. Masalah pertama yang menjadi hangat di antara para aktivis di Seattle adalah: apakah WTO bisa dibentuk kembali, atau harus dibubarkan saja?
Pandangan mayoritas dalam serikat-serikat buruh Amerika (AFL-CIO) mengajukan kepada WTO sebuah "klausul sosial" yang mesti dimuat dalam semua persetujuan perdagangan untuk menentukan standar-standar perburuhan minimal: melarang penggunaan tenaga kerja anak, melarang diskriminasi, dan menjamin hak bersikat bagi kaum buruh. Dengan demikian, WTO diharapkan akan mengenakan sanksi tidak hanya kepada badan-badan yang menhalangi pasar bebas, tetapi juga kepada pihak yang menindas kelas buruh. Steven Shrybman, seorang jurubicara organisasi-organisasi pelindung lingkungan alam, menganjurkan agar WTO ditransformasikan sampai badan itu akan "mengkhawatirkan masalah perubahan iklim planet kita dan bukan hanya profit perusahaan-perusahaan obat-obatan transnasional." Bahkan sering diusulkan bahwa Bank Dunia dan IMF bisa direformasi melalui suatu "visi alternatif", yang mentuntut agar lembaga serta perusahaan internasional menjadi "lebih terbuka dan bertanggung-jawab".
Di sisi lain, Walden Bello menegaskan bahwa "upaya pembentukan kembali WTO adalah salah". Dia belum mengajukan tuntutan mutlak agar WTO dibubarkan, tetapi memang menyerukan agar sebuah "kombinasi langkah aktif dan pasif diterapkan untuk mengurangi kekuatan IMF secara radikal, sehingga hanya menjadi satu lembaga antara banyak lembaga lain yang akan saling periksa." Tuntutan agar WTO dibubarkan semakin dapat dukungan karena WTO itu tidak menggubris kekhawatiran-kekhawatiran para demonstran di Seattle.
Perdebatan yang mirip juga terjadi disekitar demonstrasi besar-besaran di kota Millau, Perancis selatan. Para pembicara yang ingin "membongkar" lembaga seperti WTO dicap "utopis" oleh pihak moderat, dan bahkan dituduh bersikap "sealiran" dengan para pendukung pasar bebas (yang menolak semua pengaturan ekonomi). Perdebatan mengenai reformasi atau penghapusan lembaga-lembaga ini berkaitan dengan satu perdebatan lain: mengenai alternatif mana yang harus diperjuangkan.
Perdebatan (ii): Klausul sosial, buruh anak, hak berserikat
Serikat-serikat buruh di AS mengajukan "klausul-klausul sosial" yang seharusnya dimuat dalam semua persetujuan perdagangan internasional, guna melarang perusahaan-perusahaan multinasional memperlakukan buruh di dunia ketiga seperti budak belian, sekaligus menghindari mereka memindahkan pabrik-pabrik keluar negeri hanya untuk mengurangi upah dan kondisi kaum buruh. Perubahan semacam ini diharapkan dapat membantu negara-negara yang mau lolos dari "the race to the bottom" (perlombaan ke bawah). Ada yang berniat menjalankan klausul-klausul ini melalui intervensi pemerintah; ada juga yang mengandalkan kampanye-kampanye untuk mengambil hati para konsumen dan aksi-aksi boikot untuk memaksa perusahaan seperti Nike untuk berubah sikap.
Namun pendekatan ini juga dikritisi oleh berbagai aktivis terkemuka karena dua hal. Yang pertama, pendekatan ini kurang memperhatikan kemampuan perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengelak peraturan-peraturan yang dilakukan oleh pemerintah serta menghindari tekanan dari para konsumen. Menurut David Bacon, "pemerintahan Clinton di AS, yang mula-mula ogah mendiskusikan perlindungan manapun bagi kaum buruh", sekarang telah melihat kenyataan tertentu: kritik tentang kasus-kasus yang paling parah di pabrik-pabrik di luar negeri "bisa menjadi sebuah taktik untuk menangkis tekanan para pengritik di dalam negeri". Namun Gedung Putih tidak berkepentingan untuk menghadapi sebab-sebab fundamental dari kemiskinan, atau merevisi peranan yang dimainkan oleh kebijakan AS sendiri yang justeru melanggengkan kemiskinan tersebut.
Minat yang tiba-tiba ditonjolkan oleh Clinton pada hal ini malah menjadi cara untuk memfasilitasi diterapkannya kebijakan itu. Contohnya peraturan-peraturan yang diusulkan oleh Departemen Perburuhan untuk melarang kerja paksa, atau melarang kerja lembur tanpa upah melebihi 60 jam, atau dipekerjakannya anak-anak di bawah umur 14 tahun di tempat-tempat kerja melarat … Perusahaan-perusahaan yang melanggar peraturan itu dilukiskan sebagai iblis; yang tidak melanggar peraturan dikira OK saja. Namun usulan-usulan untuk standar dan peraturan ini tidak menyentuh satu pertanyaan pokok: darimana asalnya kemiskinan yang memaksa kaum buruh memasuki gerbang pabrik? Kebijakan-kebijakan mana yang diterapkan oleh pemerintah AS yang justeru memperparah kemiskinan tersebut?"
Naomi Klein belum mengkritisi klausul-klausul sosial dengan begitu blak-blakan. Menurut dia, kalau kita memfokuskan perhatian masyarakat pada tingkah laku sejumlah perusahaan seperti Nike atau Starbucks, kita dapat merangsang orang "meletakkan seluruah sistem di bawah mikroskop". Tetapi dia juga memperingatkan: "jika hanya satu merek saja yang menarik minat kita, yang lain jelas bisa luput dari perhatian … Chevron telah mendapatkan kontrak yang luput dari genggaman Shell, sedangkan Adidas berhasil muncul kembali sebagai pemain penting di pasaran, dengan meniru strategi Nike dalam hal perburuhan dan pemasaran tetapi menghindari kontroversi publik." Dia menulis lebih lanjut:
"Bahkan kalau peraturan-peraturan tidak berasil menghapuskan penindasan, mereka toh berhasil (dengan cukup efektif) menggelapkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan raksasa dan para warga biasa sebenarnya tidak mempunyai tujuan yang sama dalam masalah bagaimana hal-hal perburuhan dan lingkungan alam harus diatur … Di balik omongan tentang etika dan kemitraan, kedua belah pihak masih terpiting dalam sebuah perjuangan kelas yang klasik."
Perdebatan tidak hanya menyangkut keefektifan klausul-klausul sosial. Ada juga sebuah diskusi lebih luas, apakah klausul semacam ini sama sekali dapat dibenarkan. Sejumlah aktivis berpendapat bahwa dampak klausul itu hanya membuat negeri-negeri miskin tetap menjadi miskin. Menurut David Bacon:
"Klausul sosial yang diajukan oleh AFL-CIO mencerminkan kebutuhan terlambaga dari serikat-serikat di sebuah negeri industrial yang makmur. Serikat-serikat dan gerakan buruh di negeri-negeri lain mempunyai kebutuhan yang berbeda, terutama mereka memerlukan perkembangan ekonomi. Misalnya kaum tani di Filipina atau Meksiko hampir semua sepakat, lebih baik anak-anak mereka bersekolah daripada bekerja. Namun dengan melarang dipekerjakannya buruh anak, kita belum juga memberikan kesempatan bersekolah; kita hanya memotong penghasilan yang diperlukan oleh keluarga mereka untuk bertahan hidup."
Bacon menunjuk ke imperialisme global sebagai biang keladi sebenarnya dari kemiskinan. Tetapi soalnya, beberapa butir argumentasinya agak dekat dengan argumen-argumen yang diajukan oleh Clare Short, Mennaker Inggeris dalam pemerintahan Tony Blair, yang telah merangkul doktrin-doktrin neoliberal. Menurut argumentasi neoliberal, setiap upaya mengatur kondisi kerja atau level upah hanya mengurangi jumlah lowongan kerja sehingga kaum buruh akan merugi. Argumentasi Bacon juga menonjolkan satu kelemahan tambahan; menurut dia, para aktivis di barat harus bekerjasama dengan pemerintah-pemerintah dunia ketiga serta serikat-serikat resmi yang disokong pemerintah tersebut, dan bukan dengan kaum buruh sendiri:
"Walau hak-hak buruh memang penting, ada sebuah perjuangan yang lebih besar mengenai siapa yang akan menguasai perekonomian negeri-negeri yang sedang berkembang … Serikat-serikat di Amerika harus menegosiasikan sebuah agenda bersama dengan serikat-serikat di negeri-negeri itu, dengan mengakui dan menghormati perbedaan orientasi dan pendapat. Yang mengatakan, misalnya, bahwa Konfederasi Serikat Buruh se-Cina tidak memiliki legitimasi sebagai organisasi buruh karena konfederasi itu tidak setuju dengan agenda perdagangan AFL-CIO, hanya bersikap sovinis saja."
Di satu sisi kita melihat usulan untuk klausul yang tidak efektif, dan malah bisa digunakan oleh para politisi barat untuk menutup-nutupi dosa-dosa perusahaan besar dan agenda-agenda imperialis (contohnya: para politisi sayap kanan suka menuntut agar sanksi perdagangan dikenakan pada Cina). Namun di sisi lain kita melihat argumentasi yang terlalu mirip dengan argumen-argumen yang digunakan 150 tahun lalu oleh penganut pasar bebas Senior di Inggeris, yang tidak setuju kerja anak-anak dibatasi: argumentasi bahwa segala upaya mengatur dunia ekonomi hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi sehingga kemiskinan menjadi lebih umum. Pendekatan pertama membiarkan pemerintah-pemerintah barat terus mendominasi WTO, sambil menggunakan klausul-klausul sosial sebagai alat demi tujuan-tujuan imperialis mereka. Pendekatan kedua terlalu sering cenderung menbenarkan eksploitasi kaum buruh di dunia ketiga sebagai satu-satunya jalan pembangunan ekonomi.
Kedua belah pihak mengemukakan kritik satu sama lain yang agak masuk akal. Sehingga kita harus menarik kesimpulan: kedua-duanya masih gagal menemukan akar dari masalah-masalah yang mereka tekuni.
Perdebatan (iii): Hutang
Perselisihan yang mirip juga muncul dalam kampanye-kampanye seperti Jubilee 2000 yang berfokus pada hutang yang ditanggung oleh negara-negara dunia ketiga. Kampanye ini sangat berjasa dalam menyoroti permerasan oleh lembaga-lembaga finansial imperialis. Namun kesuksesan mereka juga telah mengangkat sejumlah persoalan. Apakah kita harus selalu mengajukan tuntutan-tuntutan moderat saja, dengan harapan mempengaruhi badan-badan pemerintahan, atau mesti menuntut penghapusan semua hutang itu? Apakah kita harus tetap mengangkat isu-isu hutang saja, atau mesti meluaskan agenda sampai mencakup isu-isu lebih luas tentang sistem kapitalis? Susan George, seorang peneliti yang telah menekuni masalah hutang selama 30 tahun lebih, menjelaskan sebagai berikut:
Banyak orang yang baik hati menuntut penghapusan semua hutang sebagai satu-satunya solusi yang layak: saya sendiri khawatir kalau solusi ini bisa menjadi sebuah perangkap bagi kita … Jika mereka yang berhutang bisa bersatu untuk mengemplang sebagian dari hutang-hutangnya, atau semua hutang, syukurlah. Tapi rasanya itu tidak akan terjadi. Nah, bila aksi bersama itu tidak terjadi, bagaimana? Harus kita menyelenggarakan kampanye-kampanye mentuntut agar pemerintah-pemerintah di barat membatalkan semua hutang secara sepihak? … Tetapi penghapusan itu sebenanarnya justeru akan menguntungkan sistem yang sedang memperluas kelaparan dan kemiskinan di seluruh dunia ketiga. Kenapa? Yang pertama, pemerintah-pemerintah dunia ketiga yang paling memboroskan dana akan beruntung. Yang kedua, lewat pemutihan semacam itu, para negeri yang berhutung akan kena aib, sampai di masa mendatang mereka akan mengalami kesulitan mendapatkan dana baru dari sumber manapun.
Selain itu, tidak sedikit negeri yang sudah tidak mampu membayar hutang, sehingga sekarang mereka hanya bisa melunasi separuhnya. Jika 50% dari hutang mereka diputihkan, itu hanya berarti mereka harus membayar 100% dari 50% yang tersisa. Tidak ada gunanya untuk negeri yang berhutang, tetapi lembaga-lembaga finansial di barat bisa pura-pura bermurah-hati.
Susan George tidak mengungkit kekhawatiran ini untuk membenarkan sepak-terjang lembaga-lembaga finansial. Sebaliknya, dia ingin meluaskan cakrawala para aktivis gerakan dan menyoroti masalah hutang dari semua segi, termasuk pola pengaliran sumber daya secara keseluruhan, dan tingkah-laku para elit dunia ketiga (bukan hanya di barat). Dia membuktikan bahwa untuk mencari solusi yang signifikan, tidaklah cukup kita hanya memusatkan perhatian pada masalah hutang.
Pengalaman kampanye Jubilee 2000 membenarkan argumentasi Susan George. Kesuksesan kampanye tersebut dalam mengekspos dampak hutang justeru merangsang diskusi baru di kalangan aktivis. Beberapa tokoh terkemuka dalam kampanye itu beranggapan, mereka harus bersikap moderat guna mengambil hati pemerintah-pemerintah, dan bahkan mengharap dukungan dari orang-orang yang sudah terbukti reaksioner seperti ahli ekonomi Jeffrey Sachs -- walau si Jeffrey Sachs itu masih menyetujui program neo-liberal yang dijalankan oleh presiden Ekuador, Jamil Mahaud, yang ditumbangkan jari jabatannya oleh pemberontakan masyarakat adat pada bulan Januari 2000. Mereka mengucapkan selamat kepada pertemuan puncak para pemimpin G8 di tahun 1998, karena para pemimpin itu berkenan mengakui adanya persoalan hutang. Namun setelah menyaksikan bahwa pemerintah-pemerintah tersebut belum juga mengambil langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan persoalan itu, para aktivis mulai merevisi taktik-taktik moderat mereka. Salah satu aktivis menyimpulkan: "Saya menyesal bahwa kami mengucapkan selamat kepada negara-negara G8 … Namun [yang penting] kampanye kita telah membuat masyarat lebih melek mengenai sebab-musabab kemiskinan."
Perdebatan (iv) Kemiskinan, pembangungan dan pengrusakan lingkungan alam.
Di samping perselisihan tentang masalah perdagangan dan hutang ada perdebatan lain, tentang pembangunan macam apa yang mesti dijalankan di negeri-negeri miskin. Banyak aktivis di Seattle mempunyai pendapat yang cukup tegas dalam hal ini: menurut mereka, negeri-negeri dunia ketiga seharusnya diizinkan mengadakan industrialisi agar dapat mengejar negeri-negeri barat. William Greider menulis tentang perlunya "pembangunan industri di negeri-negeri di mana upah-upah masih rendah", sedangkan Juliette Beck dan Kevin Danaher ingin "melindungi industri-industri domestik yang muda sampai mereka mampu bersaing di arena internasional". Danaher bahkan melihat Korea Selatan sebagai ekonomi teladan karena "selama dasawarsa 1960-an sampai dengan 1980-an, meski terjadi bertahun-tahun represi, namun secara ekonomi negeri itu cukup sukses." Sikap Waldon Bello tidak jauh berbeda: dia menganut sebuah strategi industrialisasi untuk dunia ketiga berdasarkan proteksi, yang sudah lama berasosiasi dengan UNCTAD (sebuah badan PBB) dan pemimpinnya Raul Prebisch, walau Waldon Bello memang mengakui bahwa "model integrasi ke dalam ekonomi global [versi UNCTAD] perlu dikaji kembali".
Namun sejumlah aktivis lain telah mempertanyakan pendekatan industrialisasi ini. Mereka mencari suatu "jalan alternatif selain model yang mendominasi selama ini, yang berorientasi ke pertumbuhan cepat berdasarkan sektor ekspor." Aliran alternatif ini sering didukung oleh para aktivis yang membela hak-hak masyarakat adat, atau yang berfokus pada masalah lingkungan alam seperti Vandana Shiva. Mereka menunjukkan ke akibat-akibat buruk yang disebabkan oleh proses industrialiasi di dunia ketiga (dan di barat dan bekas negeri "Komunis" pula): pemiskinan, pengrusakan lingkungan alam, pengganguan gaya hidup tradisional, dan lain sebagainya. Seperti dicatat oleh Susan George dalam kritiknya terhadap model-model ekonomi, "paradigma dominan" berarti "banyak manusia yang kehilangan tanah dan harus meninggalkan desa mereka, menyaksikan anak-anak mereka mengidap penyakit parah atau kelaparan; bekerja 14 jam per hari dengan gaji yang merana atau tidak bekerja sama sekali; meringkuk atau disiksa atau dibunuh, jika berani membuka mulut atau berusaha memperjuangkan nasib yang lebih baik."
Namun mereka yang menolak paradigma lama jarang berhasil menyajikan paradigma alternatif yang memadai. Ahli genetika Mae-Wan Ho misalnya, menggabungkan sebuah kritik yang brilian terhadap tehnik-tehnik modifikasi genetik dengan usulan untuk kita kembali kepada "cara-cara pertanian tradisional". Vandana Shiva melukiskan konsekwensi buruk pendekatan agrikultur yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan multinasional raksasa di India, tetapi kurang memperhatikan bahwa pertanian tradisional berarti penindasan yang mengerikan bagi jutaan petani kecil dan buruh tani, terutama kaum perempuan. Selain itu, cara-cara tradisional tidak mampu menghasilkan cukup bahan pangan untuk melayani seluruh populasi India yang bertumbuh dengan begitu cepat selama beberapa dasawarsa ini.
Membalas sebuah pertanyaan tentang hal tersebut seusai makalah Reith Lecture-nya, Vandana Shiva hanya mengeluh tentang "pertumbuhan populasi yang tidak bisa diteruskan begitu saja", dan menyalahkan pembangunan:
Jika anda menyimak datanya, jumlah pendukuk India tetap stabil sampai tahun 1800. Penjahan Inggeris dan penggusuran orang dari tanah mereka membuat populasi kita muliai bertumbuh. Sedangkan laju pertumbuhan populasi di Inggeris sangat mempercepat setelah tanah yang dulu dimiliki secara berkelompok menjadi tanah swasta … pertumbuhan populasi adalah hasil dari pembangunan yang tak henti-hentinya.
Tapi sebenarnya, kemiskinan menjadi cukup umum di pedesaan India sebelum kedatangan para penjajah Inggeris. Ahli sejarah ekonomi Irfan Habib telah membuktikan keadaan miskin para penduduk rural di zaman Mogul. Dan di Inggeris ada sejumlah periode jauh sebelum munculnya kepemilikan swasta di pedesaan di mana rakyat menderita kelaparan, misalnya pada tahun-tahun pertama abad ke-14. Yang merasa kangen pada zaman-zaman dulu sebetulnya sedang merindukan cara-cara hidup yang agak merana, dan tatanan-tatanan sosial yang (walau bukan kapitalis) juga merupakan masyarakat berkelas, penuh dengan jerih payah, kelaparan, pendindasan dan penghisapan.
Lebih penting lagi, pertanian tradisional tidak sanggup untuk memberi makanan kepada seluruh populasi dunia yang diperkirakan jumlahnya akan melebihi 12 milyar orang dalam waktu 30 tahun. Metode-metode "Revolusi Hijau" patut dikecam secara tajam karena penggunaan intensif pestisida, merambatnya hubungan kapitalis di pedesaan, dan masalah lingkungan alam. Namun demikian, metode-metode itu memang berhasil meningkatkan hasil panen sampai India bisa menjamin kebutuhan fisik minimal bagi kebanyakan rakyat tanpa banyak impor. Bahkan Vandana Shiva sendiri harus mengakui "keberhasilan terbatas Revolusi Hijau", walau hanya sepintas lalu. Betul, rakyat tidak banyak beruntung: namun hal ini disebabkan karena "Revolusi Hijau" dijalankan dalam konteks sosial yang timpang. Bukan metode-metode ilmiah yang berdosa, melainkan struktur-struktur kapitalis. Kita memang harus menggunakan metode-metode modern, tetapi dalam sebuah konteks sosial yang progresif.
Para pengamat yang mengecam model-model pembangungan kapitalis sering berpendapat, kita harus beralih ke produksi dan penggunaan lokal. Tetapi kalau kita hanya menggantungkan pada sumber-sumber daya setempat saja, akibat-akibatnya sering buruk juga. Model produksi lokal biasanya disertai paceklik lokal pula, setiap kali kita dilanda oleh cuaca yang tidak bersahabat atau hama-hama yang merusak panen. Tehnik-tehnik modern yang memungkinan pengiriman bahan pangan dari satu daerah atau negeri ke daerah atau negeri yang lain telah menyebabkan paceklik tidak lagi terjadi di banyak tempat. Jika masih terjadi di tempat-tempat lain, itu bukan karena orang di satu negeri seharusnya tidak membeli bahan makanan dari luar negeri. Paceklik itu terjadi karena distribusi global dijalankan demi kepentingan kaum pemilik modal bukan demi kepentingan manusia.
Ada sejumlah negara yang sudah lama bergantung pada ekspor tertentu, contohnnya Kuba yang bergantung pada ekspor gula. Seandainya kita semua kembali ke penggunaan hasil panen lokal dan menolak produk ekspor itu, rakyat Kuba akan mati. Kita hidup dalam sebuah sistem global yang bukan hasil proses "globalisasi" 2-3 dekade ini, melainkan sudah berkembang sejak abad ke-16. Sifat-sifat buruk dari sistem yang ada tidak bisa dihilangkan dengan mengisolir diri kita dari dunia luar, melainkan kita harus mengambil alih sumber-sumber daya yang ada di seluruh dunia, agar bisa digunakan untuk membebaskan umat manusia dari sistem kapitalis.
Para lawan model pembangunan modern terkadang mengajukan satu argumen lagi yang sangat jelek. Menurut mereka, model ini harus ditolak bukan karena memaksa orang melakukan pekerjaan keras yang tak ada henti-hentinya. Sebaliknya, mereka mengeluh bahwa model ini "kurang padat kerja". Misalnya lembaga penelitian Environment Resarch Foundation mencatat sebagai salah satu kelemahan sistem produksi yang sedang diterapkan, bahwa "manusia kehilangan pekerjaan ketika mesin-mesin dipergunakan yang mengganti pekerja-pekerja dan kerbau-kerbau", seolah-olah pekerjaan kasar merupakan nasib yang baik, dan manusia tak urung menderita bila jatah pekerjaan kasar tidak mencukupi bagi semua orang. Tentu saja para pekerja harus melawan PHK. Tetapi dalam sebuah tatanan sosial yang progresif, kita memang akan dapat membangun mesin yang membebaskan orang dari pekerjaan semacam itu, sambil menjamin penghasilan yang lebih tinggi untuk si pekerja. Sekarang ini sistem sosial memang berlum bersifat demikian, namun itu hanya membuktikan bahwa sistem sosial tersebut harus diganti. Tidak berarti, pekerjaan kasar adalah lebih baik daripada penggunaan mesin. Seperti gurau Brendan Behan: "Kalau pekerjaan keras begitu baik, kenapa sih kaum kaya tidak merebut semua pekerjaan itu buat diri mereka sendiri?"
Perdebatan (v) Globalisasi dan kapitalisme
Di belakang semua perdebatan tersebut ada satu masalah yang lebih mendasar. Kita sedang melawan apa: sebuah sistem ekonomi yang sudah lama mapan, atau hanya sejumlah perubahan dalam lembaga-lembaga dan ideologi-ideologi yang terjadi selama dasawarsa terakhir, yang dikenal dengan nama "globalisasi" dan "neo-lib"?
Kadang-kadang istilah-istilah ini hanya menjadi kata sandi, sehingga serangan-serangan terhadap globalisasi dan neoliberalisme merupakan satu cara menyerang sistem kapitalisme serta berbagai ideologi yang berkaitan. "Corporate greed" (kerakusan perusahaan besar) menjadi sinonim bagi profit, sedangkan "globalisasi" menjadi sinonim untuk cara-cara kapitalisme internasional menindas umat manusia. Wacana-wacana ini sangat berguna.
Namun tidak sedikit pengamat dan aktivis yang menggambarkan fenomena globalisasi dan neoliberalisme sebagai kekuatan independen tanpa merujuk ke sistem kapitalis. Misalnya Ignacio Ramonet menulis dalam Le Monde Diplomatique bahwa kita tidak ingin lagi "menerima globalisasi sebagai nasib yang tak terhindari … masyarakat semakin menuntut hak-hak mereka dalam bentuk yang baru, hak-hak kolektif di hadapan pengrusakan yang sudah disebabkan oleh globalisasi." Sedangkan Vandana Shiva berargumen dalam makalah Reith Lecture-nya bahwa globalisasi dan "ekonomi global baru" telah berdampak mengerikan pada manusia biasa serta menyebabkan "malapetaka" di negeri seperti India, "terutama di bidang pangan dan pertanian". Pierre Bourdieu melihat globalisasi dan ideologi neolib sebagai musuh utama. "Persoalan pokok", tulisnya, "adalah neoliberalisme dan kemunduran aparatus negara. Di Perancis, filsafat neoliberal telah tertanam di seluruh kegiatan dan kebijakan negara." Berbagai tokoh dari organisasi ATTAC di Perancis sampai mengatakan bahwa gerakan mereka bukanlah anti-kapitalis, dan hanya ingin mengendalikan cucuran modal jangka pendek yang menggangu ekonomi-ekonomi nasional.
Buku The Lugano Report karya Susan George memang merujuk ke kapitalisme dalam judul lengkapnya. Tetapi setelah aksi di Seattle dia menulis tentang massa yang memprotes "konsekwensi globalisasi yang parah" seolah-olah ini adalah hal yang terpisah dari kapitalisme dan jauh lebih serius. Beberapa bagian The Economic Horror karya Viviane Forrester melukiskan soal-soal seperti pengangguran bukan sebagai hasil sistem kapitalisme yang sudah ada sejak dulu kala, melainkan sebagai "efek sekunder" globalisasi. Sepertinya efek sekunder ini dikira baru muncul dalam dasawarsa 1990-an.
Kita nyaris diajak menarik kesimpulan bahwa "neoliberalisme" dan "globalisasi" merupakan noda-noda jelek di muka sebuah sistem yang bisa ditolerir jika noda-noda itu dilenyapkan. Seperti tulisan Your Money or Your Life karya Eric Toussaint, yang memperbedakan antara tahap kapitalis sekarang dan tahap sebelumnya: "Konsensus sosial ‘Fordis’ di barat, konsensus tentang pembangunan di dunia ketiga dan penguasaan birokratik di blok timur tidak menghapuskan pengunaan kekerasan oleh pihak yang berkuasa -- jauh dari itu -- tetapi semua metode ini telah membuka jalan untuk kemajuan sosial tertentu."
Redaksi Le Monde Diplomatique menonjolkan mentalitas yang mirip dengan mengusulkan agar kita kembali ke model ekonomi-ekonomi nasional kapitalis berdasarkan proteksi. Sama halnya dengan Colin Hines yang beorientasi ke "produksi lokal" oleh pengusaha dan perusahaan setempat di setiap negara. Seakan-akan sebuah sistem kapitalis yang sebelumnya dikira kurang lebih memadai, baru saja sedang dirongrong oleh kaum neolib yang melayani kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional. Tetapi upaya-upaya pihak reaksioner itu tidak merupakan penjelasan yang memuaskan tentang fenomena-fenomena mengerikan yang sedang diekspos oleh gerakan anti-kapitalis. Fenomena-fenomena ini sudah menyolok mata sejak awal sistem kapitalis. Bila manusia direduksi menjadi barang jualan, buruh-buruh anak dieksploitir, jam kerja menjadi kelewat panjang, malapeteka di desa tatkala kaum tani tergusur disusul oleh tragedi di pabrik ketika kaum buruh di PHK, lingkungan alam dibahayakan -- soal-soal ini bukan sesuatu yang baru muncul 10 atau 20 tahun yang lalu. Hal-hal itu digambarkan 100-150 bahkan 200 tahun yang lalu, dalam novel Hard Times karya Charles Dickens, Germinal karya Emile Zola atau The Jungle karya Upton Sinclair; juga dalam Condition of the Working Class in England karya Frederick Engels atau beberapa bab Das Kapital. Fenomena-fenomena ini menyifati sistem kapitalis sejak awal. Sehingga tulisan anti-globalisasi yang paling bagus dewasa ini sebenarnya bersifat cukup mirip dengan tulisan zaman dulu tersebut.
Sejumlah ilusi
Sayangnya kaum pengritik terkemuka yang mengecam globalisasi kebanyakan masih menerima sebagian dari argumentasi neoliberal tentang jalannya proses globalisasi itu.
Jauh-jauh hari Karl Marx menjelaskan bagaimana sistem kapitalis menyembunyikan inti proses-proses sosial. Para pedagang yang berjual-beli di pasaran hanya melihat gerak-gerik komoditi dan uang di permukaan pasar itu dan tidak memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Para pemodal yang mendapat penghasilan dari saham atau obligasi, atau manipulasi pasar modal, cenderung percaya bahwa uang dan surat-surat berharga mampu bertumbuh secara ajaib tanpa adanya hubungan dengan pekerjaan manusia di pabrik, sawah, tambang atau kantor. Para kapitalis yang hidup dari pekerjaan kaum buruh, percaya bahwa merekalah yang menyediakan pekerjaan buat kaum buruh yang seyogyanya mengucapkan terima kasih. Pengangguran dikira disebabkan oleh tidak adanya cukup tugas yang perlu diselesaikan, walau sebenarnya tunakarya itu disebabkan oleh sistem kompetisi buta antara kaum majikan.
Gambaran dunia yang terbalik ini disebut oleh Marx dengan istilah "fetishism of comodities". Artinya Marx membandingkan masyarakat kapitalis dengan sebuah kiasan dari dunia agama primitif, di mana manusia membuat berhala-berhala, kemudian menyembah berhala-berhala itu. Berhala yang merupakan barang penciptaan manusia sepertinya menjadi indepen lantas mendominasi manusia tersebut. Yang dilihat oleh manusia bukan lagi kenyataan melainkan sebuah dunia terbalik. Seperti juga dunia ekonomi kapitalis, di mana para ahli ekonomi borjuis melihat fenomena-fenomena dari sudut pandangan kaum pemilik modal, terutama di sektor finansial di mana pertukaran kertas dikira dapat menciptakan kekayaan. Kegiatan-kegiatan praktis di bidang produksi kurang diperhatikan.
Mentalitas ini betul-betul kasat mata ketika para pengamat borjuis mengambarkan perubahan-perubahan struktur ekonomi dunia selama 25 tahun ini. Transaksi internasional berperan semakin besar, tetapi terutama transaksi finansial. Organisasi materiil dari proses produksi belum begitu ditransformasikan.
Para pemodal mengirim trilyaran dolar mengelingi jagat setiap hari, namun perusahaan-perusahaan multinasional tetap memusatkan sebagian besar dari produksi mereka di satu atau paling banter dua negeri. Para pimpinan perusahaan itu hampir selalu menonjolkan sebuah "bias nasional". Mereka sering digambarkan bersikap acuh-tak-acuh terhadap kelakuan negara, tetapi gambaran ini salah. Tiap perusahaan multinasional mengandalkan salah satu negara nasional untuk membela kepentingannya di kancah internasional, dalam negosiasi ekonomi dan juga dalam mengatur suku bunga dan nilai tukar mata uang. Dalam situasi gawat, mereka tak jarang mendorong negara untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan yang bangkrut jika merasa terancam.
Perusahaan multinasional sama selaki tidak "tanpa bobot". Mereka tidak bisa memindahkan pabrik secara besar-besaran begitu saja dari satu negara ke negara yang lain. Mobil, truk, baja, lemari es, mesin cuci, obat-obatan bahkan komputer harus dimanufaktur dalam pabrik yang mahal, yang tidak bisa ditinggalkan dengan leluasa. Di industri modern, pemindahan pabrik biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun. Misalnya Ford berniat memindahkan produksi mobil dari Inggeris ke Jerman, dan proses itu diperkirakan akan makan waktu dua tahun. Pemindahan-pemindahan seperti ini biasanya bukan ke dunia ketiga (seperti sering dibayangkan) melainkan dari satu negeri maju ke negeri maju lain. Pada tahun-tahun awal dasawarsa 1990-an, tiga perempat dari investasi terkonsentrasi di negeri-negeri maju.
Besar-kecilnya negara-negara Amerika Utara dan Amerika Selatan dapat digariskan sebagai berikut. Amerika Serikat memiliki 76% dari ekonomi belahan bumi barat itu. Brazil menjadi negara terbesar di Amerika Latin dengan ekonomi sebesar 8 % (lebih kecil dari California), Kanada meraih 6 % (sama dengan New York), Meksiko 4%, Argentina 3 %, dsb. Kemiskinan menjadi umum di banyak negeri Asia, Afrika dan Amerika Latin, bukan hanya karena para kapitalis membayar upah yang rendah, tetapi juga karena mereka tidak melakukan banyak investasi di negeri-negeri tersebut.
Perusahaan-perusahaan multinasional juga sangat bergantung pada tenaga kerja. Diskusi-diskusi tentang globalisasi memuat segala macam omong kosong bahwa kelas buruh tradisional (kerah biru) sedang lenyap. Tetapi jumlah buruh industrial di 24 ekonomi termaju masih sangat besar. Jumlah mereka naik dari 51,7 juta pada tahun 1900 menjadi 120 juta pada tahun 1971. Kemudian angka itu memang menurun tetapi hanya sampai 112,8 juta (pada tahun 1998). Buruh ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja karena mereka memiliki keterampilan yang tinggi.
Selain itu banyak sekali pekerja di sektor jasa mengalami kondisi kerja yang sangat mirip dengan kondisi di pabrik. Hal ini sudah lama demikian dalam kasus pekerja pelabuhan atau sopir truk - dan sopir truk sebenarnya akan berperan lebih penting dengan berkembangnya e-commerce (perdagangan internet), karena barang-barang yang dibeli via internet tidak bisa dikonsumsi di "alam maya" melainkan harus diantarkan secara riil. Tumbuhnya restoran-restoran semacam McDonald’s dan KFC juga menciptakan banyak tempat kerja yang mirip pabrik.
Para teoretisi globalisasi sering beranggapan, bahwa kelas pekerja dewasa ini semakin tak berdaya di hadapan perusahaan-perusahaan global. Namun itu salah pula. Pada tahun 1998 kaum pekerja Ford menjalankan aksi mogok yang melumpuhkan pabrik-pabrik Ford di seluruh Eropa. Tapi sayangnya para pengritik juga termakan oleh kesalahan ini. Viviane Forrester menuliskan:
"Dunia lama -- di mana kerja dan ekonomi berfusi dan rakyat banyak diperlukan oleh mereka yang mengambil keputusan penting -- seperti telah dihapuskan … Dunia baru yang didominasi oleh kibernetika, proses produksi otomatis dan tehnologi baru yang revolusioner tidak berkaitan lagi dengan ‘dunia kerja’ yang tidak lagi dibutuhkannya."
Rumusan-rumusan Naomi Klein sering senada; menurut dia banyak perusahaan multinasional mendasarkan diri pada "sistem pabrik tanpa akar" yang "mengingkari peranan tradisional mereka sebagai majikan yang memperkerjakan massa rakyat". Dan perusahaan General Motors sedang "memindahkan alat-alat produksi ke maquiladoras (daerah-daerag industrial sepanjang perbatasan antara Meksiko dan Amerika Serikat) dan ke tempat yang mirip di mana-mana di dunia". Kita mendapatkan kesan bahwa lowongan kerja sedang mengalir secara deras keluar Amerika Serikat. Tetapi dalam tempat lain dalam buku yang sama Naomi Klein memberikan angka untuk tenaga kerja maquiladora yang sebesar 900.000 -- kurang dari 5% dari tenaga kerja yang ada di A.S. Jumlah pekerja perusahaan General Motors di A.S. tetap sebesar 200.000, jauh lebih besar dibandingkan jumlah pekerja General Motors di Meksiko.
David Bacon, yang sering menggunakan terminologi Marxis, juga melakukan kesalahan yang sama. Dia melihat pengaliran modal ke negeri-negeri dunia ketiga sebagai sebab utama dari pengangguran di AS: "Perbedaan standar hidup antara negeri kaya dengan negeri miskin … meyebabkan warga-warga AS kehilangan pekerjaaan saat perusahaan-perushaan berpindah."
Sebetulnya, sebab utama orang kehilangan pekerjaan di barat adalah proses restrukturisasi dalam perusahaan-perusahaan, yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas di tempat-tempat kerja. Ketika pabrik-pabrik dipindahkan, mereka lebih sering berpindah ke tempat lain di dalam negeri-negeri maju itu sendiri. Kekalahan-kekalahan paling serius yang dialami oleh kelas pekerja Inggeris -- kalahnya kaum buruh tambang pada tahun 1985 dan kaum pekerja percetakan pada tahun 1987, bukanlah akibat berpindahnya alat-alat produksi keluar negeri.
Ini bukan kelemahan kecil dalam karya-karya Forrester, Klein dan Bacon. Salah satu fungsi terpenting teori-teori neolib adalah untuk meyakinkan kita bahwa kita sama sekali kehilangan kontrol atas sistem kapitalis dan sistem itu tidak dapat dilawan lagi. Para politisi melakukan argumentasi ini untuk membenarkan kebijakan anti-rakyat seperti dicabutnya subsidi BBM di Indonesia. Para birokrat konservatif dalam serikat-serikat buruh menjadikannya alasan untuk menghidari perjuangan buruh yang mereka anggap sia-sia. Jangan sampai kita menerima logika palsu ini.
Perang di zaman globalisasi
Masalah perang tidak dibicarakan oleh para teoretisi globalisasi, tapi hal ini seharusnya menjadi perhatian penting bagi para pengritik sayap kiri.
Para teoritisi globalisasi cenderung mengajukan pendapat bahwa modal internasional tidak lagi menghiraukan perbatasan antar-negara, sehingga perdagangan bebas dikira akan menghentikan perang. Menurut salah satu slogan mereka, "negeri-negeri di mana ada restoran McDonald’s tidak pernah saling tempur." Kenyataannya jauh berbeda. Perang meletus secara reguler selama ini: Perang Teluk, pertempuran di banyak tempat di Afrika, konflik bersenjata di beberapa negeri bekas Yugoslavia, kemudian serangan NATO di Serbia (yang memang mempunyai restoran-restoran McDonalds), agresi Rusia di Cecnya, dan lain sebagainya.
Peperangan semacam ini merupakan sebagian esensial dalam sistem kapitalis global, seperti halnya kegiatan IMF atau perusahaan multinasional, karena nasib setiap pemilik modal masih juga terkait dengan negara-negara tertentu. Perusahaan seperti Boeing, Monsanto, Microsoft dan Nike tidak mungkin menjadi kuat tanpa sokongan aparatus negara Amerika Serikat, termasuk militer. Namun kekuatan dan gengsi setiap negera bergantung pada kemampuannya untuk mengalahkan negara lain di medan perang, atau sekurang-kurangnya untuk ikut terlibat dalam sebuah aliansi militer yang mampu.
Pada awal tahun 1990-an kita menyaksikan koalisi militer yang dipimpin oleh Amerika menjalankan invasi di Teluk untuk mempertahankan kekuasaanya atas sumber minyak tanah. Pada akhir dasawarsa yang sama, kita menyaksikan sebuah koalisi yang mirip menyerang Serbia guna mempertahankan "kredibilitas" NATO, yaitu untuk menjamin posisi strategis mereka di Eropa tenggara, sekaligus mempertahankan akses ke daerah-daerah di Timur Tengah dan Laut Kaspian yang sekali lagi kaya akan minyak tanah. Thomas Friedman, seorang wartawan yang dekat dengan State Department A.S., menjelaskan hubungan antara perusahaan-perusahaan besar dan kekuasaan militer:
Tangan tersembunyi (the invisible hand) di pasar tidak pernah berfungsi tanpa kepalan tersembunyi yang disediakan oleh militer. McDonalds tidak bisa sukses tanpa McDonnell Douglas. Kepalan tersembunyi ini, yang menjaga keamanan bagi kesuksesan tekhnologi dari Silicon Valley, namanya angkatan darat, udara dan laut serta marinir.
Biasanya pemerintah-pemerintah dan para pemikir neoliberal berusaha menutup-nutupi hubungan itu, dan ketika melakukan perang mereka pura-pura membela hak asazi manusia. Jangan percaya kebohongan ini. IMF, WTO, Bank Dunia, Pentagon dan NATO hanya merupakan bermacam-macam sisi dari sistem yang sama. Tidak logis kita melawan satu aspek sambil mendukung aspek lain.
Mengembangkan sebuah teori alternatif
Neo-liberalisme dan proses globalisasi amat tidak manusiawi, namun tidaklah cukup jika kita hanya mengekspos segi yang tidak manusiawi itu. Teori neolib mengaburkan kenyataan eksploitasi dan penindasan secara sistematis. Ideologi itu harus kita bongkar secara sistematis pula. Kita juga mesti menjelaskan kenapa ideologi neolib begitu kuat. Kuatnya neoliberalisme tidak dapat dipahami sebagai hasil konspirasi kapitalis saja. Tentu saja ada banyak konspirasi kapitalis, tetapi itu bukan hal yang baru. Persekongkolan semacam itu selalu terjadi, tetapi ini tidak menjelaskan kenapa ide-ide neolib menjadi kuat persisnya di masa kini. Untuk sebuah penjelasan yang memadai, kita harus berangkat dari analisis Marx tentang sistem kapitalis.
Banyak teoretisi anti-kapitalis dewasa ini yang anti-Marx, karena dipengaruhi oleh pengalaman buruk di Uni Soviet, dan karena jemu "Marxisme akademis" abstrak yang berkembang di universitas-universitas pada tahun 1970-an. Tetapi pemikiran Marx meletakkan sebuah landasan yang tak kuat untuk mengerti sifat-sifat kapitalisme global.
Marx muda memulai sebagai seorang demokrat liberal yang melawan penindasan semi-feodal yang masih bercokol di benua Eropa. Namun dia lekas insaf bahwa mode produksi dan fenomena sosial kapitalis yang sedang muncul waktu itu, dan yang sudah menguasai negeri Inggeris, tidak kalah menindas dan mengeksploitasi manusia. Marx mulai menekuni cara-cara sistem baru ini beroperasi, dan bagaimana kapitalisme tersebut bisa ditentang -- seperti kaum pemikir terkemuka gerakan "anti-kapitalis" menekuni persoalan globalisasi baru-baru ini.
Fenomena "alienasi" (keterasingan) menjadi titik tolak bagi analisis Marx. Ini bukan hanya sebuah konsep filosofis atau sosiologis saja, melainkan berkaitan erat dengan dunia kerja dan sistem ekonomi pula. Marx mempelajari karya-karya para penganut terkemuka sistem kapitalis, seperti Adam Smith dan David Ricardo. Marx menarik kesimpulan bahwa, meskipun kapitalisme meningkatkan produktivitas kerja dan sumber-sumber daya ekonomi secara hebat, namun mayoritas besar umat manusia tidak beruntung:
Makin banyak yang dihasilkan oleh si pekerja, makin kurang konsumsinya. Makin banyak nilai yang diciptakannya, makin ia sendiri menjadi tak bernilai, tak berharga … [Sistem kapitalis] mengganti tenaga kerja dengan mesin, tetapi di saat yang sama melontarkan sebagian dari kaum pekerja kembali pada sebuah tipe pekerjaan yang biadab, sedangkan kaum pekerja lain menjadi mesin … sistem itu menghasilkan kepandaian -- tetapi bagi si pekerja, hanya kebodohan … Benar, pekerjaan semacam itu menghasilkan barang-barang gemilang bagi kaum kaya -- namun untuk kaum pekerja hanya kesengsaraan. Dia menghasilkan rumah-rumah mewah -- tapi untuk kaum pekerja, pondok-pondok kumuh belaka. Dia menghasilkan keindahan -- tapi untuk si pekerja cuma kejelekan … Si pekerja hanya merasa utuh di luar pekerjaannya, sedang selama dia bekerja dia merasa luar diri sendiri. Dia merasa betah selama tidak bekerja; selama bekerja dia sama sekali tidak kerasan. (The worker only feels himself outside his work, and in his work feels outside himself. He feels at home when he is not working, when he is working he does not feel at home.)
Seorang buruh bekerja untuk hidup. Dia malah tidak menghitung pekerjaannya sebagai kehidupan, melainkan sebagai pengorbanan kehidupannya … Yang dihasilkannya bagi diri sendiri bukanlah kain sutra yang ditenunnya, emas yang ditambangnya ataupun istana-istana yang dibangunnya. Yang dihasilkannya bagi diri sendiri hanyalah upah, sehingga kain sutra, emas dan istana itu menjelma mengambil bentuk sekian banyak kebutuhan hidup, mengkali sehelai jaket kapas, sedikit uang recehan, dan kamar sumpek yang dihuninya. Dan si pekerja yang menenun, memintal, mengebor, membangun, menyodok atau berkuli selama 12 jam sehari -- mengirakah dia ke-12 jam penunan, pemintalan, pengeboran, pembangungan, penyodokan dan pengkulian itu sebagai manifestasi kehidupannya? Malah sebaliknya, kehidupannya baru berawal begitu kegiatan-kegiatan itu selesai -- di meja makan, di kedai minuman, di tempat tidur.
Betapa relevannya kata-kata Marx ini! Untuk wanita-wanita muda di Indonesia atau Amerika Latin yang dilukiskan dalam tulisan-tulisan Naomi Klein, menjahit busana elegan yang tak pernah mereka sanggup beli dengan upah mereka sebesar sedolar sehari; atau kaum tani India yang tergusur oleh perusahaan kapitalis guna menghasilkan bahan makanan yang tidak mungkin akan dinikmati oleh para petani tersebut; ataupun kaum buruh pabrik baja di Amerika yang di PHK karena industri mereka menghasilkan "terlalu banyak" baja. Namun Marx tidak hanya menggambarkan keadaan yang sengsara ini; keadaan tersebut memang telah dilukiskan oleh orang lain sebelum Marx. Dia berusaha pula, melalui 25 tahun penelitian yang tekun, untuk memahami bagaimana sistem kapitalis bisa muncul -- dan bagaimana sistem itu menimbulkan lawan-lawannya sendiri.
Dia menemukan asal-usulnya dalam hal monopoli oleh sebuah kelas minoritas atas "alat-alat produksi", yakni hasil-hasil bekas pekerjaan, seperti mesin-mesin yang diperlukan oleh manusia untuk mencapai penghasilan yang memadai. Sehingga mayoritas rakyat hanya tinggal menjual tenaganya kepada kaum minoritas itu, jika tidak mau mati kelaparan. Namun monopoli atas alat-alat produksi yang dinikmati oleh minoritas tersebut memungkinkan mereka membayar sebuah upah untuk tenaga kerja itu yang kurang dari nilai yang dihasilkan oleh para pekerja. Sehingga kaum pemilik alat-alat produksi mendapatkan sebuah "nilai lebih" dari jerih payah kaum pekerja. Nilai lebih tersebut menjadi sumber profit, dividen dan bunga.
Di saat yang sama, perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh minoritas tersebut sedang saling bersaing. Akibatnya, setiap perusahaan berusaha bertumbuh lebih cepat dari para pesaingnya. Itu hanya dapat dilakukan dengan secara senantiasa memaksimalkan nilai lebihnya dengan semakin menghisap kaum pekerja. Sebagai konsekwensinya timbullah sebuah fenomena yang sama sekali kontradiktif bahkan absurd: terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peningkatan kemakmuran rakyat. Seperti tulis Marx:
Akumulasi, akumulasi! Itulah nabi-nabinya! Tabunglah, tabunglah! Yaitu rubahlah semakin banyak nilai lebih atau penghasilan surplus menjadi modal. Akumulasi guna akumulasi saja, produksi demi produksi belaka -- dengan rumusan ini, ilmu ekonomi-politik klasik mengucapkan amanat historis borjuasi.
Demikian bangkitlah sebuah sistem lengkap yang mengungkungi massa rakyat:
Kekuasaan si kapitalis atas pekerja juga merupakan kekusaan barang-barang atas manusia, pekerjaan mati atas pekerjaan hidup, produk-produk atas para produsen, karena sebenarnya barang-barang jualan yang menjadi alat dominasi atas kaum pekerja … adalah alat-alat produksi … Ini merupakan proses pengasingan pekerjaan sosial para pekerja.
Para pemilik modal sebagai individu menjadi pelaku yang menyelenggarakan proses ini. Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain kalau ingin tetap menjadi pemilik modal. Seandainya mereka tidak berhasil menghisap profit yang setara dengan profit para kapitalis lain, mereka akan kalah bersaing sehingga harus gulung tikar atau menjual perusahaan mereka kepada para kapitalis lain itu. Sehingga dalam artian tertentu para pemilik modal juga dikungkungi oleh logika sistem kapitalis -- tapi yang jelas, mereka menikmati sebuah gaya hidup yang jauh lebih bagus daripada rakyat jelata. Menurut Marx: "si pekerja dari mula menjadi korban; dia cenderung memberontak dan melihat proses itu sebagai perbudakan" sedangkan si kapitalis "mengakar dalam proses alienasi, dan di situ dia menikmati sebuah kepuasan hati yang penuh".
Para kapitalis mempertahankan sebuah dunia "kerja terasing", di mana hasil-hasil kegiatan manusia hidup sendiri dan mendominasi manusia itu. Di dunia ini kita senantiasa dipaksa untuk bekerja sambil secara berkala kita dipaksa untuk menganggur pula; kita manyaksikan kelaparan disamping penghasilan "terlalu banyak" produk, dan penggusuran kaum tani yang kemudian terpaksa harus datang ke perkotaan tetapi mungkin tidak mendapatkan pekerjaan di situ. Semakin kuatnya pihak kapitalis, semakin banyak orang yang harus menggantungkan pada pekerjaan upahan. Setiap kali mereka menjual tenaga mereka kepada pihak kapitalis, para majikan menghisap lebih banyak nilai lebih sehingga menjadi lebih kuat lagi. Bahkan kalau sejumlah pekerja berada dalam kedudukan yang relatif beruntung sehingga bisa memaksa para majikan meningkatkan upah, dinamika kapitalis tak kunjung berhenti: "Selama modal terakumulasi secara pesat, upah bisa saja meningkat; tapi profit kapitalis akan meningkat dengan jauh lebih cepat. Posisi materiil si pekerja memang membaik, tetapi posisi sosialnya tetap memburuk." Kaum pekerja masih terus "menempa rantai-rantai emas" yang mengungkungi mereka sendiri. Dan dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels melukiskan merambatnya sistem kapitalis ini ke seluruh penjuru dunia:
Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya mengejar borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.
Melalui penghisapannya atas pasar dunia borjuasi telah memberikan sifat kosmopolitan kepada produksi dan konsumsi di tiap-tiap negeri. Kaum reaksioner merasa sedih sekali karena borjuasi telah menarik bumi nasional dari bawah kaki industri di setiap negeri.. Semua industri nasional yang sudah tua telah dihancurkan atau sedang dihancurkan setiap hari. Mereka digantikan oleh industri-industri baru yang pelaksanaannya menjadi jadi masalah hidup dan mati bagi semua nasion yang beradab, oleh industri yang tidak lagi mengerjakan bahan mentah dari negeri sendiri, tetapi bahan mentah yang didatangkan dari wilayah-wilayah dunia yang paling jauh letaknya, industri yang barang-barang hasilnya tidak saja dipakai di dalam negeri tetapi di setiap pelosok dunia. Sebagai pengganti kebutuhan-kebutuhan masa lampau yang dipenuhi oleh produksi negeri sendiri, kita mendapatkan kebutuhan-kebutuhan baru, yang untuk memuaskannya diperlukan hasil-hasil dari negeri-negeri serta daerah-daerah iklim yang sangat jauh letaknya. Sebagai pengganti keadaan terasing serta mencukupi-kebutuhan-sendiri secara lokal maupun nasional yang lama, kita dapati hubungan ke segala jurusan, keadaan saling-tergantung yang universal di antara nasion-nasion …
Borjuasi, dengan perbaikan cepat dari segala alat produksi, dengan makin sangat dipermudahnya kesempatan menggunakan alat-alat perhubungan, menarik segala nasion, sampai yang paling biadab pun, ke dalam peradaban.
Kemudian aksi besar-besaran melawan pertemuan WTO di Seattle di bulan November juga dicap "anti-kapitalis". Arti kata "anti-kapitalisme" bukan sama dengan sosialis, tetapi fenomena ini memang hebat. Sepuluh tahun setelah kaum penguasa kapitalis berjaya saat rezim-rezim Eropa Timur ambruk, sebuah peristiwa yang didengungkan sebagai kemenangan mutlak pasar bebas, mass media borjuis harus mengakui bahwa semakin banyak manusia menolak sistem mereka.
Suasana anti-kapitalis menjadi cukup jelas dalam demonstrasi yang terjadi secara berturut-turut di Washington, Melbourne, Praha, Millau dan Nice, tetapi termanifestasi dalam bentuk lain pula: misalnya ketika sejuta warga Perancis mencoblos calon-calon Trotskys dalam pemilihan untuk parlemen Eropa. Di Eropa Timur, hasil jajak-jajak pendapat membuktikan bahwa kata "kapitalisme" memiliki asosisasi negatif bagi mayoritas rakyat. Di Amerika Latin telah terjadi serangkaian pemberontakan melawan agenda neoliberal. Demonstrasi-demonstrasi hanya merupakan puncak dari gunung es ketidakpuasan massa rakyat tertindas di seluruh dunia.
Demonstrasi anti-WTO di Seattle tentu saja harus menjadi titik tolak bagi diskusi kita. Banyak sekali kelompok dari seluruh dunia dan dari bermacam-macam sektor yang bersatu dalam aksi tersebut. Seperti tulis Luis Hernandez Navarro, seorang wartawan dari koran harian radikal La Jornada di Meksiko: "Kaum pecinta alam, petani dari Dunia Pertama, anggota serikat buruh, feminis, punk, aktivis HAM, wakil masyarakat adat, anak muda dan orang separo baya, warga Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Amerika Latin dan Asia" berkumpul di Seattle waktu itu. Kata dia, mereka semua bersatu dalam menolak slogan "Semua kekuatan untuk perusahaan-perusahaan transnasional!" yang menjadi agenda WTO.
Aksi protes itu menonjolkan sisi spontan; banyak orang yang mendengar tentang demo itu dan berangkat begitu saja. Namun dari sisi lain, banyak pendemo yang terlibat dalam organisasi yang bekerja keras selama berbulan-bulan untuk setting demo itu, dengan menjalin hubungan melalui internet, dan juga mempropagandakan isu-isu globalisasi dan perlawanan. Sejumlah pemikir terkemuka sangat berjasa pula dalam mengupas isu-isu ini, seperti Walden Bello, Susan George, Vandana Shiva, Noam Chomsky, Naomi Klein dan Pierre Bourdieu.
Menolak agenda neo-lib
Doktrin-doktrin neo-liberal pertama diucapkan dalam ideologi konservatif yang dijuluki "Thatcherism" di Inggeris dan "Reaganomics" di Amerika. Kemudian logika neo-lib disambut oleh golongan sosial demokratik dalam program "The Third Way" yang juga pro-kapitalis. Ide-ide neoliberal menjadi pondasi bagi kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga interasional seperti WTO, IMF dan Bank Dunia, dan program-program "reformasi ekonomi" yang diajukan oleh para politikus dan ahli ekonomi.
Pilar utama ideologi neolib adalah, bahwa aparatus negara seharusnya tidak ikut berperan dalam kegiatan-kegiatan pokok ekonomi nasional maupun internasional. Kita diajak kembali ke gagasan ortodoks yang bercokol sebelum depresi tahun 1930-an, yang dianjurkan oleh Adam Smith dan dipopularisasikan oleh Jean-Baptiste Say. Gagasan ini dikenal sebagai "liberalisme ekonomi" waktu itu, jadi versi baru dikenal dengan nama "neo-liberalisme". Para penyokongnya mau menurunkan pajak dari profit-profit kapitalis dan gaji tinggi, menjual BUMN kepada pihak swasta, melemahkan regulasi-regulasi yang mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, serta menghapuskan semua proteksi ekonomi yang dilakukan melalui bea cukai.
Menurut argumentasi mereka, segala intervensi pemerintah di dunia ekonomi semenjak tahun 1930-an hanya mengakibatkan industri-industri menjadi pemboros yang tidak efisien. Ambruknya blok Soviet, serta kemandegan dan kesengsaraan Amerika Selatan dan Afrika, menurut mereka telah membuktikan betapa celakanya konsekwensi intervensi pemerintah. Kemiskinan di dunia ketiga hanya dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan pasar bebas yang tak kenal ampun, melalui kegiatan WTO, IMF dan Bank Dunia.
Bila usaha-usaha ekonomi di"bebas"kan dari kontrol yang "semena-mena" itu, katanya nasib umat manusia bisa diperbaiki secara menyeluruh. Modal dapat mengalir dengan leluasa ke mana saja diperlukan sehingga barang-barang dan jasa-jasa akan dihasilkan di tempat yang paling cocok. Modal yang sudah terakumulasi tidak akan lagi tertambat dalam industri-industri "berkarat" yang tak berdayaguna, dan "monopoli tenaga kerja" yang dikuasai oleh serikat-serikat buruh jahat tidak lagi bisa menghalangi kenaikan produktivitas kerja secara "dinamis". Daerah-daerah dunia masing-masing dapat mengkhususkan dalam bidang produksi di mana mereka lebih mampu. Boleh jadi melalui proses-proses ini kaum kaya akan menjadi lebih kaya lagi, tetapi tidak apa-apa, karena lewat tumbuhnya penghasilan ekonomi secara umum, kekayaan itu akan bercucur ke bawah secara dikit berdikit (trickle down) untuk memperkaya rakyat jelata pula. Demikian argumentasi mereka.
Pandangan "neoliberal" semacam ini biasanya berasosiasi dengan teori "globalisasi". Menurut teori itu, restrukturalisasi dunia telah terjadi sehingga pengaliran modal bebas tanpa intervensi oleh pemerintah-pemerintah sudah tercapai. Kita sedang menghayati zaman kapitalisme multinasional (atau transnasional). Aparatus-aparatus negara adalah lembaga-lembaga yang kadaluwarsa, yang tidak lagi sanggup menghalangi perusahaan-perusahaan berpindah-pindah guna mencari keuntungan. Bila pemerintah-pemerintah ngotot berusaha melakukan halangan yang demikian, ekonomi mereka cuma akan menjadi ekonomi "terkepung" seperti Korea Utara atau Kombodja di bawah Pol Pot; dan bagaimanapun juga mereka tidak bisa melakukan hal itu karena para pemilik modal terlalu cerdik dan selalu akan mengelabui pemerintah-pemerintah tersebut. Sebuah pemerintah yang mengasihani para warganya paling banter bisa menyediakan lingkungan ekonomi yang paling menarik bagi para investor: pajak rendah, tenaga kerja "fleksibel", serikat buruh lemah, regulasi minimal.
Beberapa orang neolib yang mengaku sosial-demokratik (contohnya Anthony Giddens, yang menyiapkan teori-teori demi membenarkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Tony Blair di Inggeris), mengakui bahwa di masa lampau, intervensi oleh negara terkadang berperan positif. Namun menurut mereka, timbulnya sebuah ekonomi global telah merubah situasi politik. Dewasa ini, kontrol-kontrol atas kehidupan ekonomi hanya menghadirkan ketidakefisienan melulu, dan jika ekonomi tidak efisien, pasti kita kandas. Sehingga "globalisasi" dan "neoliberalisme" merupakan dua konsep yang berkaitan erat.
Dalam versi teori globalisasi tertentu yang agak berpengaruh, kemampuan modal untuk bercucuran ke sini-sana dengan leluasa sudah menjadi hal yang mutlak. Menurut pandangan ini, kita menghayati era "produksi tanpa bobot" (weightless production). Komputer, perangkat lunak dan internet sudah jauh lebih penting dibandingkan produk-produk logam yang "kadaluwarsa", dan perusahaan-perusahaan bisa luput dengan mudah dari genggaman negara-negara dengan memindahkan alat-alat produksi mereka secepat kilat. Negeri-negeri maju sudah bersifat paska-industrial, dan kelas perkerja di barat tidak lagi merupakan kekuatan yang berarti, karena industri manufaktur sedang berpindah ke dunia ketiga. Tinggal semacam masyarakat "sepertiga": di satu sisi ada kelas menengah (sepertiga dari penduduk) yang mempunyai cukup keterampilan (human capital) untuk mendapatkan gaji tinggi -- sedangkan di sisi lain "proletariat bawah" paling-paling bisa mencari pekerjaan sementara yang "fleksibel" dan tak terampil, dengan upah yang tidak bisa naik menjadi terlalu tinggi karena tersaingi oleh barang-barang murahan dari dunia ketiga.
Sementara itu, di dunia ketiga, massa rakyat tidak mempunyai pilihan lain kecuali menawarkan diri sebagai tenaga kerja murahan untuk perusahaan-perusahaan multinasional, dengan upah yang melarat. Pemerintah-pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengajak rakyat menyambut pasar bebas internasional. Industri pertanian mesti dibentuk kembali guna menghasilkan barang-barang yang bisa dijual di pasaran global. Pajak untuk membiayai dinas kesehatan, kesejahteraan serta pendidikan rakyat harus diminimalkan. Kaum buruh harus membanting tulang untuk menyambung hidup. Demikian skenario "globalisasi" ekstrim.
Namun para pengritik telah mengekspos banyak sekali kontradiksi dan kesalahan dalam doktrin-doktrin ini. Mereka sudah membuktikan bahwa negara-negara dunia ketiga yang menyambut pasar bebas biasanya tidak mengalami perbaikan nasib apapun. Selama dua dasawarsa "globalisasi", kondisi kebanyakan penduduk Afrika dan Amerika Selatan telah merosot. Penyerahan bidang tanah yang besar untuk pertanian monokultur sama sekali tidak meningkatkan pendapatan kaum tani, karena barang-barang yang sama juga dihasilkan di negara-negara lain sehingga harga-harga menurun terus. Pendapatan yang diterima, dimakan pula oleh bunga kredit yang harus dibayar, sementara lingkungan alam kaum tani sering rusak.
Mereka yang meninggalkan desa dan berpindah ke perkotaan mendapatkan pekerjaan kasar dan mesti bekerja selama 10 sampai 12 bahkan 16 jam sehari dalam kondisi yang merugikan kesehatan, serta hidup di daerah-daerah kumuh. Begitu laju bertumbuhan ekonomi global berkurang, mereka lekas menganggur. Kaum pekerja di barat memang mempunyai standar hidup yang lebih baik, tetapi tidak bisa dikatakan "beruntung" dari sebuai sistem yang sedang memperpanjang jam-jam kerja mereka (hari kerja seorang pekerja laki-laki di Amerika Serikat sekarang ini 8 persen lebih panjang dibandingkan dengan 25 tahun yang lalu). Upah mereka menurun atau paling banter tersendat. Di saat yang sama, para pengritik menunjukkan bagaimana tidak bersedianya para politisi dan birokrat untuk mengatur kegiatan perusahaan-perusahaan, telah menghadirkan pengrusakan lingkungan alam secara global yang dapat mengancam kehidupan umat manusia.
WTO, IMF, Perusahaan Multinasional dan Konsekwensi Aksi Seattle
Para paus neoliberalisme mentuntut agar semua kegiatan ekonomi oleh negara dihentikan, semua halangan bagi pengaliran modal dan barang-barang dihapuskan, dan semua hambatan untuk penggunaan hak-hak kepemilikan swasta dihilangkan. World Trade Organisation (Organisasi Perdagangan Sedunia -WTO) menerapkan kebijakan-kebijakan yang senada. Negara-negara yang tidak membuka sektor penyediaan jasa seperti telekomunikasi kepada investasi serta persaingan dari luar, bisa kena sanksi. Produk-produk dari luar negeri yang mengancam kesehatan orang atau lingkungan alam tidak boleh dilarang. Obat-obatan atau software harus dihasilkan dengan harga mahal supaya perusahaan-perusahaan multinasional dapat beruntung karena "hak cipta" mereka (walau sebenarnya yang menciptakan innovasi itu adalah kaum pekerja, bukan kaum majikan).
International Monetary Fund (Dana Internasional Moneter - IMF) bertindak lebih agresif lagi melalui Structural Adjustment Programs (restrukturalisasi) yang mendorong negara-negara untuk menghapuskan subsidi pada bahan-bahan pokok dan untuk menswastanisasi ekonomi.
Selain memaksa, para neolib juga rajin berargumentasi. Bermacam-macam konferensi, pertemuan puncak dan lembaga penelitian ramai-ramai merancang rencana untuk membentuk kembali kebijakan negara-negara seluruh dunia. Contohnya European Round Table (Meja Bundar Eropa) para industriawan, yang mendorong IMF, WTO dll untuk mendukung "reformasi" di bidang pendidikan (seperti biaya lebih tinggi bagi mahasiswa); World Water Council (Dewan Air Sedunia) yang mendesak agar penyediaan air diswastanisasi; atau Transatlantic Business Dialogue (Dialog Bisnis Trans-Atlantik -- semacam tim kerja para kapitalis terbesar), yang bekerjasama dengan wakil-wakil Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk merencanakan agenda-agenda WTO. Pertemuan semacam ini amat berpengaruh pada opini publik. Kolom-kolom surat kabar, berita-berita mass media, komentar-komentar di TV, laporan dari lembaga-lembaga riset dan departemen-departmen universitas semua ikut serta dalam proses propaganda tersebut. Selama bertahun-tahun proses itu behasil, sampai menimbulkan kesan, ideologi neoliberal tak dapat dikalahkan. Itu sebabnya kaum neolib begitu terperangah oleh demonstrasi di Seattle.
Kesuksesan di Seattle itu sebagian disebabkan oleh kontra-propaganda para aktivis anti-neoliberal. Melalui buku, seminar, kolom yang kadang-kadang berhasil diselipkan di dalam koran tertentu, sejumlah program televisi dan makalah akademis, mereka menandingi dan berusaha untuk mengekspos kesalahan-kesalahan argumentasi neolib. Kami kaum Marxis ikut partisipasi dalam upaya kontra-propaganda itu. Pada awal dasawarsa 1990-an kita masih agak terisolasi, berusaha berlayar melawan angin. Namun menjelang akhir dasawarsa tersebut, audiens kita bertumbuh secara hebat. Audiens yang bersedia menerima argumentasi kaum Marxis mungkin hanya bertumbuh berlipat 2, 3 atau 4; tapi audiens untuk para pemikir anti-neoliberal non-Marxis betumbuh lebih pesat.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Pengalaman tahun 1990-an sama sekali menyalahkan prediksi-prediksi neolib. "The New World Order" (Orde Baru Sedunia), yang digembar-gemborkan oleh Amerika Serikat seusai Perang Dingin sebagai dunia perdamaian, justeru melahirkan perang demi perang: di Teluk, Somalia, Cecnia, Bosnia, Serbia dll. "Keajaiban ekonomi" yang dijanjikan di bekas blok Soviet melalui diterapkannya pasar bebas terbukti cuma merupakan retorika kosong: padahal perekonomian Soviet ambruk secara hampir total. Kekuatan ekonomi kapitalis terbesar kedua, Jepang, terjerumus ke dalam sebuah krisis kemandegan ekonomi yang tiada hentinya, sedangkan di Eropa Barat angka pengangguran berfluktuasi sekitar 10 persen. Warga-warga Afrika mengalami kelaparan serta perang saudara secara bergantian -- karena kelaparan menimbulkan konflik yang hebat, sedangkan peperangan memperparah masalah pangan. Hanya di Asia terjadi suatu kemakmuran ekonomi tertentu, namun kesuksesan ini ambruk juga menjadi krisis moneter, sampai para ahli ekonomi borjuis dan lembaga ekonomi nyaris kehilangan akal.
Selain itu efek rumah kaca, sebuah ancaman terhadap lingkungan alam dan umat manusia yang mula-mula hanya diakui oleh sebuah minoritas ilmuwan, akhirnya menjadi topik hangat di seluruh dunia -- tetapi para penguasa kapitalis belum juga mau mengambil langkah serius untuk mengatasinya, karena langkah-langkah yang dibutuhkan akan mengurangi profit-profit mereka.
Yang mahapenting di sini adalah: hal-hal ini tidak lagi dilihat sebagai fenonema yang terisolasi tanpa kaitan satu sama lain. Masalah pangan, lingkungan alam, penindasan dan eksploitasi dimengerti sebagai sisi-sisi dari satu sistem global. Kampanye anti-imperialis, pro-lingkungan atau feminis, gerakan buruh, tani dan mahasiswa -- yang tercabik-cabik selama bertahun-tahun sebelumnya -- mulai bersatu. Kecenderungan ini telah memuncak dalam aksi unjuk rasa di Seattle.
Perdebatan (i): Apakah WTO dapat direformasi, atau mesti dihapuskan?
Barang tentu, sebuah gerakan yang mempersatukan banyak sektor, kampanye serta grup akan menghadapi perdebatan yang intensif, mengenai stategi, taktik dan orientasi teoritis. Masalah pertama yang menjadi hangat di antara para aktivis di Seattle adalah: apakah WTO bisa dibentuk kembali, atau harus dibubarkan saja?
Pandangan mayoritas dalam serikat-serikat buruh Amerika (AFL-CIO) mengajukan kepada WTO sebuah "klausul sosial" yang mesti dimuat dalam semua persetujuan perdagangan untuk menentukan standar-standar perburuhan minimal: melarang penggunaan tenaga kerja anak, melarang diskriminasi, dan menjamin hak bersikat bagi kaum buruh. Dengan demikian, WTO diharapkan akan mengenakan sanksi tidak hanya kepada badan-badan yang menhalangi pasar bebas, tetapi juga kepada pihak yang menindas kelas buruh. Steven Shrybman, seorang jurubicara organisasi-organisasi pelindung lingkungan alam, menganjurkan agar WTO ditransformasikan sampai badan itu akan "mengkhawatirkan masalah perubahan iklim planet kita dan bukan hanya profit perusahaan-perusahaan obat-obatan transnasional." Bahkan sering diusulkan bahwa Bank Dunia dan IMF bisa direformasi melalui suatu "visi alternatif", yang mentuntut agar lembaga serta perusahaan internasional menjadi "lebih terbuka dan bertanggung-jawab".
Di sisi lain, Walden Bello menegaskan bahwa "upaya pembentukan kembali WTO adalah salah". Dia belum mengajukan tuntutan mutlak agar WTO dibubarkan, tetapi memang menyerukan agar sebuah "kombinasi langkah aktif dan pasif diterapkan untuk mengurangi kekuatan IMF secara radikal, sehingga hanya menjadi satu lembaga antara banyak lembaga lain yang akan saling periksa." Tuntutan agar WTO dibubarkan semakin dapat dukungan karena WTO itu tidak menggubris kekhawatiran-kekhawatiran para demonstran di Seattle.
Perdebatan yang mirip juga terjadi disekitar demonstrasi besar-besaran di kota Millau, Perancis selatan. Para pembicara yang ingin "membongkar" lembaga seperti WTO dicap "utopis" oleh pihak moderat, dan bahkan dituduh bersikap "sealiran" dengan para pendukung pasar bebas (yang menolak semua pengaturan ekonomi). Perdebatan mengenai reformasi atau penghapusan lembaga-lembaga ini berkaitan dengan satu perdebatan lain: mengenai alternatif mana yang harus diperjuangkan.
Perdebatan (ii): Klausul sosial, buruh anak, hak berserikat
Serikat-serikat buruh di AS mengajukan "klausul-klausul sosial" yang seharusnya dimuat dalam semua persetujuan perdagangan internasional, guna melarang perusahaan-perusahaan multinasional memperlakukan buruh di dunia ketiga seperti budak belian, sekaligus menghindari mereka memindahkan pabrik-pabrik keluar negeri hanya untuk mengurangi upah dan kondisi kaum buruh. Perubahan semacam ini diharapkan dapat membantu negara-negara yang mau lolos dari "the race to the bottom" (perlombaan ke bawah). Ada yang berniat menjalankan klausul-klausul ini melalui intervensi pemerintah; ada juga yang mengandalkan kampanye-kampanye untuk mengambil hati para konsumen dan aksi-aksi boikot untuk memaksa perusahaan seperti Nike untuk berubah sikap.
Namun pendekatan ini juga dikritisi oleh berbagai aktivis terkemuka karena dua hal. Yang pertama, pendekatan ini kurang memperhatikan kemampuan perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengelak peraturan-peraturan yang dilakukan oleh pemerintah serta menghindari tekanan dari para konsumen. Menurut David Bacon, "pemerintahan Clinton di AS, yang mula-mula ogah mendiskusikan perlindungan manapun bagi kaum buruh", sekarang telah melihat kenyataan tertentu: kritik tentang kasus-kasus yang paling parah di pabrik-pabrik di luar negeri "bisa menjadi sebuah taktik untuk menangkis tekanan para pengritik di dalam negeri". Namun Gedung Putih tidak berkepentingan untuk menghadapi sebab-sebab fundamental dari kemiskinan, atau merevisi peranan yang dimainkan oleh kebijakan AS sendiri yang justeru melanggengkan kemiskinan tersebut.
Minat yang tiba-tiba ditonjolkan oleh Clinton pada hal ini malah menjadi cara untuk memfasilitasi diterapkannya kebijakan itu. Contohnya peraturan-peraturan yang diusulkan oleh Departemen Perburuhan untuk melarang kerja paksa, atau melarang kerja lembur tanpa upah melebihi 60 jam, atau dipekerjakannya anak-anak di bawah umur 14 tahun di tempat-tempat kerja melarat … Perusahaan-perusahaan yang melanggar peraturan itu dilukiskan sebagai iblis; yang tidak melanggar peraturan dikira OK saja. Namun usulan-usulan untuk standar dan peraturan ini tidak menyentuh satu pertanyaan pokok: darimana asalnya kemiskinan yang memaksa kaum buruh memasuki gerbang pabrik? Kebijakan-kebijakan mana yang diterapkan oleh pemerintah AS yang justeru memperparah kemiskinan tersebut?"
Naomi Klein belum mengkritisi klausul-klausul sosial dengan begitu blak-blakan. Menurut dia, kalau kita memfokuskan perhatian masyarakat pada tingkah laku sejumlah perusahaan seperti Nike atau Starbucks, kita dapat merangsang orang "meletakkan seluruah sistem di bawah mikroskop". Tetapi dia juga memperingatkan: "jika hanya satu merek saja yang menarik minat kita, yang lain jelas bisa luput dari perhatian … Chevron telah mendapatkan kontrak yang luput dari genggaman Shell, sedangkan Adidas berhasil muncul kembali sebagai pemain penting di pasaran, dengan meniru strategi Nike dalam hal perburuhan dan pemasaran tetapi menghindari kontroversi publik." Dia menulis lebih lanjut:
"Bahkan kalau peraturan-peraturan tidak berasil menghapuskan penindasan, mereka toh berhasil (dengan cukup efektif) menggelapkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan raksasa dan para warga biasa sebenarnya tidak mempunyai tujuan yang sama dalam masalah bagaimana hal-hal perburuhan dan lingkungan alam harus diatur … Di balik omongan tentang etika dan kemitraan, kedua belah pihak masih terpiting dalam sebuah perjuangan kelas yang klasik."
Perdebatan tidak hanya menyangkut keefektifan klausul-klausul sosial. Ada juga sebuah diskusi lebih luas, apakah klausul semacam ini sama sekali dapat dibenarkan. Sejumlah aktivis berpendapat bahwa dampak klausul itu hanya membuat negeri-negeri miskin tetap menjadi miskin. Menurut David Bacon:
"Klausul sosial yang diajukan oleh AFL-CIO mencerminkan kebutuhan terlambaga dari serikat-serikat di sebuah negeri industrial yang makmur. Serikat-serikat dan gerakan buruh di negeri-negeri lain mempunyai kebutuhan yang berbeda, terutama mereka memerlukan perkembangan ekonomi. Misalnya kaum tani di Filipina atau Meksiko hampir semua sepakat, lebih baik anak-anak mereka bersekolah daripada bekerja. Namun dengan melarang dipekerjakannya buruh anak, kita belum juga memberikan kesempatan bersekolah; kita hanya memotong penghasilan yang diperlukan oleh keluarga mereka untuk bertahan hidup."
Bacon menunjuk ke imperialisme global sebagai biang keladi sebenarnya dari kemiskinan. Tetapi soalnya, beberapa butir argumentasinya agak dekat dengan argumen-argumen yang diajukan oleh Clare Short, Mennaker Inggeris dalam pemerintahan Tony Blair, yang telah merangkul doktrin-doktrin neoliberal. Menurut argumentasi neoliberal, setiap upaya mengatur kondisi kerja atau level upah hanya mengurangi jumlah lowongan kerja sehingga kaum buruh akan merugi. Argumentasi Bacon juga menonjolkan satu kelemahan tambahan; menurut dia, para aktivis di barat harus bekerjasama dengan pemerintah-pemerintah dunia ketiga serta serikat-serikat resmi yang disokong pemerintah tersebut, dan bukan dengan kaum buruh sendiri:
"Walau hak-hak buruh memang penting, ada sebuah perjuangan yang lebih besar mengenai siapa yang akan menguasai perekonomian negeri-negeri yang sedang berkembang … Serikat-serikat di Amerika harus menegosiasikan sebuah agenda bersama dengan serikat-serikat di negeri-negeri itu, dengan mengakui dan menghormati perbedaan orientasi dan pendapat. Yang mengatakan, misalnya, bahwa Konfederasi Serikat Buruh se-Cina tidak memiliki legitimasi sebagai organisasi buruh karena konfederasi itu tidak setuju dengan agenda perdagangan AFL-CIO, hanya bersikap sovinis saja."
Di satu sisi kita melihat usulan untuk klausul yang tidak efektif, dan malah bisa digunakan oleh para politisi barat untuk menutup-nutupi dosa-dosa perusahaan besar dan agenda-agenda imperialis (contohnya: para politisi sayap kanan suka menuntut agar sanksi perdagangan dikenakan pada Cina). Namun di sisi lain kita melihat argumentasi yang terlalu mirip dengan argumen-argumen yang digunakan 150 tahun lalu oleh penganut pasar bebas Senior di Inggeris, yang tidak setuju kerja anak-anak dibatasi: argumentasi bahwa segala upaya mengatur dunia ekonomi hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi sehingga kemiskinan menjadi lebih umum. Pendekatan pertama membiarkan pemerintah-pemerintah barat terus mendominasi WTO, sambil menggunakan klausul-klausul sosial sebagai alat demi tujuan-tujuan imperialis mereka. Pendekatan kedua terlalu sering cenderung menbenarkan eksploitasi kaum buruh di dunia ketiga sebagai satu-satunya jalan pembangunan ekonomi.
Kedua belah pihak mengemukakan kritik satu sama lain yang agak masuk akal. Sehingga kita harus menarik kesimpulan: kedua-duanya masih gagal menemukan akar dari masalah-masalah yang mereka tekuni.
Perdebatan (iii): Hutang
Perselisihan yang mirip juga muncul dalam kampanye-kampanye seperti Jubilee 2000 yang berfokus pada hutang yang ditanggung oleh negara-negara dunia ketiga. Kampanye ini sangat berjasa dalam menyoroti permerasan oleh lembaga-lembaga finansial imperialis. Namun kesuksesan mereka juga telah mengangkat sejumlah persoalan. Apakah kita harus selalu mengajukan tuntutan-tuntutan moderat saja, dengan harapan mempengaruhi badan-badan pemerintahan, atau mesti menuntut penghapusan semua hutang itu? Apakah kita harus tetap mengangkat isu-isu hutang saja, atau mesti meluaskan agenda sampai mencakup isu-isu lebih luas tentang sistem kapitalis? Susan George, seorang peneliti yang telah menekuni masalah hutang selama 30 tahun lebih, menjelaskan sebagai berikut:
Banyak orang yang baik hati menuntut penghapusan semua hutang sebagai satu-satunya solusi yang layak: saya sendiri khawatir kalau solusi ini bisa menjadi sebuah perangkap bagi kita … Jika mereka yang berhutang bisa bersatu untuk mengemplang sebagian dari hutang-hutangnya, atau semua hutang, syukurlah. Tapi rasanya itu tidak akan terjadi. Nah, bila aksi bersama itu tidak terjadi, bagaimana? Harus kita menyelenggarakan kampanye-kampanye mentuntut agar pemerintah-pemerintah di barat membatalkan semua hutang secara sepihak? … Tetapi penghapusan itu sebenanarnya justeru akan menguntungkan sistem yang sedang memperluas kelaparan dan kemiskinan di seluruh dunia ketiga. Kenapa? Yang pertama, pemerintah-pemerintah dunia ketiga yang paling memboroskan dana akan beruntung. Yang kedua, lewat pemutihan semacam itu, para negeri yang berhutung akan kena aib, sampai di masa mendatang mereka akan mengalami kesulitan mendapatkan dana baru dari sumber manapun.
Selain itu, tidak sedikit negeri yang sudah tidak mampu membayar hutang, sehingga sekarang mereka hanya bisa melunasi separuhnya. Jika 50% dari hutang mereka diputihkan, itu hanya berarti mereka harus membayar 100% dari 50% yang tersisa. Tidak ada gunanya untuk negeri yang berhutang, tetapi lembaga-lembaga finansial di barat bisa pura-pura bermurah-hati.
Susan George tidak mengungkit kekhawatiran ini untuk membenarkan sepak-terjang lembaga-lembaga finansial. Sebaliknya, dia ingin meluaskan cakrawala para aktivis gerakan dan menyoroti masalah hutang dari semua segi, termasuk pola pengaliran sumber daya secara keseluruhan, dan tingkah-laku para elit dunia ketiga (bukan hanya di barat). Dia membuktikan bahwa untuk mencari solusi yang signifikan, tidaklah cukup kita hanya memusatkan perhatian pada masalah hutang.
Pengalaman kampanye Jubilee 2000 membenarkan argumentasi Susan George. Kesuksesan kampanye tersebut dalam mengekspos dampak hutang justeru merangsang diskusi baru di kalangan aktivis. Beberapa tokoh terkemuka dalam kampanye itu beranggapan, mereka harus bersikap moderat guna mengambil hati pemerintah-pemerintah, dan bahkan mengharap dukungan dari orang-orang yang sudah terbukti reaksioner seperti ahli ekonomi Jeffrey Sachs -- walau si Jeffrey Sachs itu masih menyetujui program neo-liberal yang dijalankan oleh presiden Ekuador, Jamil Mahaud, yang ditumbangkan jari jabatannya oleh pemberontakan masyarakat adat pada bulan Januari 2000. Mereka mengucapkan selamat kepada pertemuan puncak para pemimpin G8 di tahun 1998, karena para pemimpin itu berkenan mengakui adanya persoalan hutang. Namun setelah menyaksikan bahwa pemerintah-pemerintah tersebut belum juga mengambil langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan persoalan itu, para aktivis mulai merevisi taktik-taktik moderat mereka. Salah satu aktivis menyimpulkan: "Saya menyesal bahwa kami mengucapkan selamat kepada negara-negara G8 … Namun [yang penting] kampanye kita telah membuat masyarat lebih melek mengenai sebab-musabab kemiskinan."
Perdebatan (iv) Kemiskinan, pembangungan dan pengrusakan lingkungan alam.
Di samping perselisihan tentang masalah perdagangan dan hutang ada perdebatan lain, tentang pembangunan macam apa yang mesti dijalankan di negeri-negeri miskin. Banyak aktivis di Seattle mempunyai pendapat yang cukup tegas dalam hal ini: menurut mereka, negeri-negeri dunia ketiga seharusnya diizinkan mengadakan industrialisi agar dapat mengejar negeri-negeri barat. William Greider menulis tentang perlunya "pembangunan industri di negeri-negeri di mana upah-upah masih rendah", sedangkan Juliette Beck dan Kevin Danaher ingin "melindungi industri-industri domestik yang muda sampai mereka mampu bersaing di arena internasional". Danaher bahkan melihat Korea Selatan sebagai ekonomi teladan karena "selama dasawarsa 1960-an sampai dengan 1980-an, meski terjadi bertahun-tahun represi, namun secara ekonomi negeri itu cukup sukses." Sikap Waldon Bello tidak jauh berbeda: dia menganut sebuah strategi industrialisasi untuk dunia ketiga berdasarkan proteksi, yang sudah lama berasosiasi dengan UNCTAD (sebuah badan PBB) dan pemimpinnya Raul Prebisch, walau Waldon Bello memang mengakui bahwa "model integrasi ke dalam ekonomi global [versi UNCTAD] perlu dikaji kembali".
Namun sejumlah aktivis lain telah mempertanyakan pendekatan industrialisasi ini. Mereka mencari suatu "jalan alternatif selain model yang mendominasi selama ini, yang berorientasi ke pertumbuhan cepat berdasarkan sektor ekspor." Aliran alternatif ini sering didukung oleh para aktivis yang membela hak-hak masyarakat adat, atau yang berfokus pada masalah lingkungan alam seperti Vandana Shiva. Mereka menunjukkan ke akibat-akibat buruk yang disebabkan oleh proses industrialiasi di dunia ketiga (dan di barat dan bekas negeri "Komunis" pula): pemiskinan, pengrusakan lingkungan alam, pengganguan gaya hidup tradisional, dan lain sebagainya. Seperti dicatat oleh Susan George dalam kritiknya terhadap model-model ekonomi, "paradigma dominan" berarti "banyak manusia yang kehilangan tanah dan harus meninggalkan desa mereka, menyaksikan anak-anak mereka mengidap penyakit parah atau kelaparan; bekerja 14 jam per hari dengan gaji yang merana atau tidak bekerja sama sekali; meringkuk atau disiksa atau dibunuh, jika berani membuka mulut atau berusaha memperjuangkan nasib yang lebih baik."
Namun mereka yang menolak paradigma lama jarang berhasil menyajikan paradigma alternatif yang memadai. Ahli genetika Mae-Wan Ho misalnya, menggabungkan sebuah kritik yang brilian terhadap tehnik-tehnik modifikasi genetik dengan usulan untuk kita kembali kepada "cara-cara pertanian tradisional". Vandana Shiva melukiskan konsekwensi buruk pendekatan agrikultur yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan multinasional raksasa di India, tetapi kurang memperhatikan bahwa pertanian tradisional berarti penindasan yang mengerikan bagi jutaan petani kecil dan buruh tani, terutama kaum perempuan. Selain itu, cara-cara tradisional tidak mampu menghasilkan cukup bahan pangan untuk melayani seluruh populasi India yang bertumbuh dengan begitu cepat selama beberapa dasawarsa ini.
Membalas sebuah pertanyaan tentang hal tersebut seusai makalah Reith Lecture-nya, Vandana Shiva hanya mengeluh tentang "pertumbuhan populasi yang tidak bisa diteruskan begitu saja", dan menyalahkan pembangunan:
Jika anda menyimak datanya, jumlah pendukuk India tetap stabil sampai tahun 1800. Penjahan Inggeris dan penggusuran orang dari tanah mereka membuat populasi kita muliai bertumbuh. Sedangkan laju pertumbuhan populasi di Inggeris sangat mempercepat setelah tanah yang dulu dimiliki secara berkelompok menjadi tanah swasta … pertumbuhan populasi adalah hasil dari pembangunan yang tak henti-hentinya.
Tapi sebenarnya, kemiskinan menjadi cukup umum di pedesaan India sebelum kedatangan para penjajah Inggeris. Ahli sejarah ekonomi Irfan Habib telah membuktikan keadaan miskin para penduduk rural di zaman Mogul. Dan di Inggeris ada sejumlah periode jauh sebelum munculnya kepemilikan swasta di pedesaan di mana rakyat menderita kelaparan, misalnya pada tahun-tahun pertama abad ke-14. Yang merasa kangen pada zaman-zaman dulu sebetulnya sedang merindukan cara-cara hidup yang agak merana, dan tatanan-tatanan sosial yang (walau bukan kapitalis) juga merupakan masyarakat berkelas, penuh dengan jerih payah, kelaparan, pendindasan dan penghisapan.
Lebih penting lagi, pertanian tradisional tidak sanggup untuk memberi makanan kepada seluruh populasi dunia yang diperkirakan jumlahnya akan melebihi 12 milyar orang dalam waktu 30 tahun. Metode-metode "Revolusi Hijau" patut dikecam secara tajam karena penggunaan intensif pestisida, merambatnya hubungan kapitalis di pedesaan, dan masalah lingkungan alam. Namun demikian, metode-metode itu memang berhasil meningkatkan hasil panen sampai India bisa menjamin kebutuhan fisik minimal bagi kebanyakan rakyat tanpa banyak impor. Bahkan Vandana Shiva sendiri harus mengakui "keberhasilan terbatas Revolusi Hijau", walau hanya sepintas lalu. Betul, rakyat tidak banyak beruntung: namun hal ini disebabkan karena "Revolusi Hijau" dijalankan dalam konteks sosial yang timpang. Bukan metode-metode ilmiah yang berdosa, melainkan struktur-struktur kapitalis. Kita memang harus menggunakan metode-metode modern, tetapi dalam sebuah konteks sosial yang progresif.
Para pengamat yang mengecam model-model pembangungan kapitalis sering berpendapat, kita harus beralih ke produksi dan penggunaan lokal. Tetapi kalau kita hanya menggantungkan pada sumber-sumber daya setempat saja, akibat-akibatnya sering buruk juga. Model produksi lokal biasanya disertai paceklik lokal pula, setiap kali kita dilanda oleh cuaca yang tidak bersahabat atau hama-hama yang merusak panen. Tehnik-tehnik modern yang memungkinan pengiriman bahan pangan dari satu daerah atau negeri ke daerah atau negeri yang lain telah menyebabkan paceklik tidak lagi terjadi di banyak tempat. Jika masih terjadi di tempat-tempat lain, itu bukan karena orang di satu negeri seharusnya tidak membeli bahan makanan dari luar negeri. Paceklik itu terjadi karena distribusi global dijalankan demi kepentingan kaum pemilik modal bukan demi kepentingan manusia.
Ada sejumlah negara yang sudah lama bergantung pada ekspor tertentu, contohnnya Kuba yang bergantung pada ekspor gula. Seandainya kita semua kembali ke penggunaan hasil panen lokal dan menolak produk ekspor itu, rakyat Kuba akan mati. Kita hidup dalam sebuah sistem global yang bukan hasil proses "globalisasi" 2-3 dekade ini, melainkan sudah berkembang sejak abad ke-16. Sifat-sifat buruk dari sistem yang ada tidak bisa dihilangkan dengan mengisolir diri kita dari dunia luar, melainkan kita harus mengambil alih sumber-sumber daya yang ada di seluruh dunia, agar bisa digunakan untuk membebaskan umat manusia dari sistem kapitalis.
Para lawan model pembangunan modern terkadang mengajukan satu argumen lagi yang sangat jelek. Menurut mereka, model ini harus ditolak bukan karena memaksa orang melakukan pekerjaan keras yang tak ada henti-hentinya. Sebaliknya, mereka mengeluh bahwa model ini "kurang padat kerja". Misalnya lembaga penelitian Environment Resarch Foundation mencatat sebagai salah satu kelemahan sistem produksi yang sedang diterapkan, bahwa "manusia kehilangan pekerjaan ketika mesin-mesin dipergunakan yang mengganti pekerja-pekerja dan kerbau-kerbau", seolah-olah pekerjaan kasar merupakan nasib yang baik, dan manusia tak urung menderita bila jatah pekerjaan kasar tidak mencukupi bagi semua orang. Tentu saja para pekerja harus melawan PHK. Tetapi dalam sebuah tatanan sosial yang progresif, kita memang akan dapat membangun mesin yang membebaskan orang dari pekerjaan semacam itu, sambil menjamin penghasilan yang lebih tinggi untuk si pekerja. Sekarang ini sistem sosial memang berlum bersifat demikian, namun itu hanya membuktikan bahwa sistem sosial tersebut harus diganti. Tidak berarti, pekerjaan kasar adalah lebih baik daripada penggunaan mesin. Seperti gurau Brendan Behan: "Kalau pekerjaan keras begitu baik, kenapa sih kaum kaya tidak merebut semua pekerjaan itu buat diri mereka sendiri?"
Perdebatan (v) Globalisasi dan kapitalisme
Di belakang semua perdebatan tersebut ada satu masalah yang lebih mendasar. Kita sedang melawan apa: sebuah sistem ekonomi yang sudah lama mapan, atau hanya sejumlah perubahan dalam lembaga-lembaga dan ideologi-ideologi yang terjadi selama dasawarsa terakhir, yang dikenal dengan nama "globalisasi" dan "neo-lib"?
Kadang-kadang istilah-istilah ini hanya menjadi kata sandi, sehingga serangan-serangan terhadap globalisasi dan neoliberalisme merupakan satu cara menyerang sistem kapitalisme serta berbagai ideologi yang berkaitan. "Corporate greed" (kerakusan perusahaan besar) menjadi sinonim bagi profit, sedangkan "globalisasi" menjadi sinonim untuk cara-cara kapitalisme internasional menindas umat manusia. Wacana-wacana ini sangat berguna.
Namun tidak sedikit pengamat dan aktivis yang menggambarkan fenomena globalisasi dan neoliberalisme sebagai kekuatan independen tanpa merujuk ke sistem kapitalis. Misalnya Ignacio Ramonet menulis dalam Le Monde Diplomatique bahwa kita tidak ingin lagi "menerima globalisasi sebagai nasib yang tak terhindari … masyarakat semakin menuntut hak-hak mereka dalam bentuk yang baru, hak-hak kolektif di hadapan pengrusakan yang sudah disebabkan oleh globalisasi." Sedangkan Vandana Shiva berargumen dalam makalah Reith Lecture-nya bahwa globalisasi dan "ekonomi global baru" telah berdampak mengerikan pada manusia biasa serta menyebabkan "malapetaka" di negeri seperti India, "terutama di bidang pangan dan pertanian". Pierre Bourdieu melihat globalisasi dan ideologi neolib sebagai musuh utama. "Persoalan pokok", tulisnya, "adalah neoliberalisme dan kemunduran aparatus negara. Di Perancis, filsafat neoliberal telah tertanam di seluruh kegiatan dan kebijakan negara." Berbagai tokoh dari organisasi ATTAC di Perancis sampai mengatakan bahwa gerakan mereka bukanlah anti-kapitalis, dan hanya ingin mengendalikan cucuran modal jangka pendek yang menggangu ekonomi-ekonomi nasional.
Buku The Lugano Report karya Susan George memang merujuk ke kapitalisme dalam judul lengkapnya. Tetapi setelah aksi di Seattle dia menulis tentang massa yang memprotes "konsekwensi globalisasi yang parah" seolah-olah ini adalah hal yang terpisah dari kapitalisme dan jauh lebih serius. Beberapa bagian The Economic Horror karya Viviane Forrester melukiskan soal-soal seperti pengangguran bukan sebagai hasil sistem kapitalisme yang sudah ada sejak dulu kala, melainkan sebagai "efek sekunder" globalisasi. Sepertinya efek sekunder ini dikira baru muncul dalam dasawarsa 1990-an.
Kita nyaris diajak menarik kesimpulan bahwa "neoliberalisme" dan "globalisasi" merupakan noda-noda jelek di muka sebuah sistem yang bisa ditolerir jika noda-noda itu dilenyapkan. Seperti tulisan Your Money or Your Life karya Eric Toussaint, yang memperbedakan antara tahap kapitalis sekarang dan tahap sebelumnya: "Konsensus sosial ‘Fordis’ di barat, konsensus tentang pembangunan di dunia ketiga dan penguasaan birokratik di blok timur tidak menghapuskan pengunaan kekerasan oleh pihak yang berkuasa -- jauh dari itu -- tetapi semua metode ini telah membuka jalan untuk kemajuan sosial tertentu."
Redaksi Le Monde Diplomatique menonjolkan mentalitas yang mirip dengan mengusulkan agar kita kembali ke model ekonomi-ekonomi nasional kapitalis berdasarkan proteksi. Sama halnya dengan Colin Hines yang beorientasi ke "produksi lokal" oleh pengusaha dan perusahaan setempat di setiap negara. Seakan-akan sebuah sistem kapitalis yang sebelumnya dikira kurang lebih memadai, baru saja sedang dirongrong oleh kaum neolib yang melayani kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional. Tetapi upaya-upaya pihak reaksioner itu tidak merupakan penjelasan yang memuaskan tentang fenomena-fenomena mengerikan yang sedang diekspos oleh gerakan anti-kapitalis. Fenomena-fenomena ini sudah menyolok mata sejak awal sistem kapitalis. Bila manusia direduksi menjadi barang jualan, buruh-buruh anak dieksploitir, jam kerja menjadi kelewat panjang, malapeteka di desa tatkala kaum tani tergusur disusul oleh tragedi di pabrik ketika kaum buruh di PHK, lingkungan alam dibahayakan -- soal-soal ini bukan sesuatu yang baru muncul 10 atau 20 tahun yang lalu. Hal-hal itu digambarkan 100-150 bahkan 200 tahun yang lalu, dalam novel Hard Times karya Charles Dickens, Germinal karya Emile Zola atau The Jungle karya Upton Sinclair; juga dalam Condition of the Working Class in England karya Frederick Engels atau beberapa bab Das Kapital. Fenomena-fenomena ini menyifati sistem kapitalis sejak awal. Sehingga tulisan anti-globalisasi yang paling bagus dewasa ini sebenarnya bersifat cukup mirip dengan tulisan zaman dulu tersebut.
Sejumlah ilusi
Sayangnya kaum pengritik terkemuka yang mengecam globalisasi kebanyakan masih menerima sebagian dari argumentasi neoliberal tentang jalannya proses globalisasi itu.
Jauh-jauh hari Karl Marx menjelaskan bagaimana sistem kapitalis menyembunyikan inti proses-proses sosial. Para pedagang yang berjual-beli di pasaran hanya melihat gerak-gerik komoditi dan uang di permukaan pasar itu dan tidak memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Para pemodal yang mendapat penghasilan dari saham atau obligasi, atau manipulasi pasar modal, cenderung percaya bahwa uang dan surat-surat berharga mampu bertumbuh secara ajaib tanpa adanya hubungan dengan pekerjaan manusia di pabrik, sawah, tambang atau kantor. Para kapitalis yang hidup dari pekerjaan kaum buruh, percaya bahwa merekalah yang menyediakan pekerjaan buat kaum buruh yang seyogyanya mengucapkan terima kasih. Pengangguran dikira disebabkan oleh tidak adanya cukup tugas yang perlu diselesaikan, walau sebenarnya tunakarya itu disebabkan oleh sistem kompetisi buta antara kaum majikan.
Gambaran dunia yang terbalik ini disebut oleh Marx dengan istilah "fetishism of comodities". Artinya Marx membandingkan masyarakat kapitalis dengan sebuah kiasan dari dunia agama primitif, di mana manusia membuat berhala-berhala, kemudian menyembah berhala-berhala itu. Berhala yang merupakan barang penciptaan manusia sepertinya menjadi indepen lantas mendominasi manusia tersebut. Yang dilihat oleh manusia bukan lagi kenyataan melainkan sebuah dunia terbalik. Seperti juga dunia ekonomi kapitalis, di mana para ahli ekonomi borjuis melihat fenomena-fenomena dari sudut pandangan kaum pemilik modal, terutama di sektor finansial di mana pertukaran kertas dikira dapat menciptakan kekayaan. Kegiatan-kegiatan praktis di bidang produksi kurang diperhatikan.
Mentalitas ini betul-betul kasat mata ketika para pengamat borjuis mengambarkan perubahan-perubahan struktur ekonomi dunia selama 25 tahun ini. Transaksi internasional berperan semakin besar, tetapi terutama transaksi finansial. Organisasi materiil dari proses produksi belum begitu ditransformasikan.
Para pemodal mengirim trilyaran dolar mengelingi jagat setiap hari, namun perusahaan-perusahaan multinasional tetap memusatkan sebagian besar dari produksi mereka di satu atau paling banter dua negeri. Para pimpinan perusahaan itu hampir selalu menonjolkan sebuah "bias nasional". Mereka sering digambarkan bersikap acuh-tak-acuh terhadap kelakuan negara, tetapi gambaran ini salah. Tiap perusahaan multinasional mengandalkan salah satu negara nasional untuk membela kepentingannya di kancah internasional, dalam negosiasi ekonomi dan juga dalam mengatur suku bunga dan nilai tukar mata uang. Dalam situasi gawat, mereka tak jarang mendorong negara untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan yang bangkrut jika merasa terancam.
Perusahaan multinasional sama selaki tidak "tanpa bobot". Mereka tidak bisa memindahkan pabrik secara besar-besaran begitu saja dari satu negara ke negara yang lain. Mobil, truk, baja, lemari es, mesin cuci, obat-obatan bahkan komputer harus dimanufaktur dalam pabrik yang mahal, yang tidak bisa ditinggalkan dengan leluasa. Di industri modern, pemindahan pabrik biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun. Misalnya Ford berniat memindahkan produksi mobil dari Inggeris ke Jerman, dan proses itu diperkirakan akan makan waktu dua tahun. Pemindahan-pemindahan seperti ini biasanya bukan ke dunia ketiga (seperti sering dibayangkan) melainkan dari satu negeri maju ke negeri maju lain. Pada tahun-tahun awal dasawarsa 1990-an, tiga perempat dari investasi terkonsentrasi di negeri-negeri maju.
Besar-kecilnya negara-negara Amerika Utara dan Amerika Selatan dapat digariskan sebagai berikut. Amerika Serikat memiliki 76% dari ekonomi belahan bumi barat itu. Brazil menjadi negara terbesar di Amerika Latin dengan ekonomi sebesar 8 % (lebih kecil dari California), Kanada meraih 6 % (sama dengan New York), Meksiko 4%, Argentina 3 %, dsb. Kemiskinan menjadi umum di banyak negeri Asia, Afrika dan Amerika Latin, bukan hanya karena para kapitalis membayar upah yang rendah, tetapi juga karena mereka tidak melakukan banyak investasi di negeri-negeri tersebut.
Perusahaan-perusahaan multinasional juga sangat bergantung pada tenaga kerja. Diskusi-diskusi tentang globalisasi memuat segala macam omong kosong bahwa kelas buruh tradisional (kerah biru) sedang lenyap. Tetapi jumlah buruh industrial di 24 ekonomi termaju masih sangat besar. Jumlah mereka naik dari 51,7 juta pada tahun 1900 menjadi 120 juta pada tahun 1971. Kemudian angka itu memang menurun tetapi hanya sampai 112,8 juta (pada tahun 1998). Buruh ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja karena mereka memiliki keterampilan yang tinggi.
Selain itu banyak sekali pekerja di sektor jasa mengalami kondisi kerja yang sangat mirip dengan kondisi di pabrik. Hal ini sudah lama demikian dalam kasus pekerja pelabuhan atau sopir truk - dan sopir truk sebenarnya akan berperan lebih penting dengan berkembangnya e-commerce (perdagangan internet), karena barang-barang yang dibeli via internet tidak bisa dikonsumsi di "alam maya" melainkan harus diantarkan secara riil. Tumbuhnya restoran-restoran semacam McDonald’s dan KFC juga menciptakan banyak tempat kerja yang mirip pabrik.
Para teoretisi globalisasi sering beranggapan, bahwa kelas pekerja dewasa ini semakin tak berdaya di hadapan perusahaan-perusahaan global. Namun itu salah pula. Pada tahun 1998 kaum pekerja Ford menjalankan aksi mogok yang melumpuhkan pabrik-pabrik Ford di seluruh Eropa. Tapi sayangnya para pengritik juga termakan oleh kesalahan ini. Viviane Forrester menuliskan:
"Dunia lama -- di mana kerja dan ekonomi berfusi dan rakyat banyak diperlukan oleh mereka yang mengambil keputusan penting -- seperti telah dihapuskan … Dunia baru yang didominasi oleh kibernetika, proses produksi otomatis dan tehnologi baru yang revolusioner tidak berkaitan lagi dengan ‘dunia kerja’ yang tidak lagi dibutuhkannya."
Rumusan-rumusan Naomi Klein sering senada; menurut dia banyak perusahaan multinasional mendasarkan diri pada "sistem pabrik tanpa akar" yang "mengingkari peranan tradisional mereka sebagai majikan yang memperkerjakan massa rakyat". Dan perusahaan General Motors sedang "memindahkan alat-alat produksi ke maquiladoras (daerah-daerag industrial sepanjang perbatasan antara Meksiko dan Amerika Serikat) dan ke tempat yang mirip di mana-mana di dunia". Kita mendapatkan kesan bahwa lowongan kerja sedang mengalir secara deras keluar Amerika Serikat. Tetapi dalam tempat lain dalam buku yang sama Naomi Klein memberikan angka untuk tenaga kerja maquiladora yang sebesar 900.000 -- kurang dari 5% dari tenaga kerja yang ada di A.S. Jumlah pekerja perusahaan General Motors di A.S. tetap sebesar 200.000, jauh lebih besar dibandingkan jumlah pekerja General Motors di Meksiko.
David Bacon, yang sering menggunakan terminologi Marxis, juga melakukan kesalahan yang sama. Dia melihat pengaliran modal ke negeri-negeri dunia ketiga sebagai sebab utama dari pengangguran di AS: "Perbedaan standar hidup antara negeri kaya dengan negeri miskin … meyebabkan warga-warga AS kehilangan pekerjaaan saat perusahaan-perushaan berpindah."
Sebetulnya, sebab utama orang kehilangan pekerjaan di barat adalah proses restrukturisasi dalam perusahaan-perusahaan, yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas di tempat-tempat kerja. Ketika pabrik-pabrik dipindahkan, mereka lebih sering berpindah ke tempat lain di dalam negeri-negeri maju itu sendiri. Kekalahan-kekalahan paling serius yang dialami oleh kelas pekerja Inggeris -- kalahnya kaum buruh tambang pada tahun 1985 dan kaum pekerja percetakan pada tahun 1987, bukanlah akibat berpindahnya alat-alat produksi keluar negeri.
Ini bukan kelemahan kecil dalam karya-karya Forrester, Klein dan Bacon. Salah satu fungsi terpenting teori-teori neolib adalah untuk meyakinkan kita bahwa kita sama sekali kehilangan kontrol atas sistem kapitalis dan sistem itu tidak dapat dilawan lagi. Para politisi melakukan argumentasi ini untuk membenarkan kebijakan anti-rakyat seperti dicabutnya subsidi BBM di Indonesia. Para birokrat konservatif dalam serikat-serikat buruh menjadikannya alasan untuk menghidari perjuangan buruh yang mereka anggap sia-sia. Jangan sampai kita menerima logika palsu ini.
Perang di zaman globalisasi
Masalah perang tidak dibicarakan oleh para teoretisi globalisasi, tapi hal ini seharusnya menjadi perhatian penting bagi para pengritik sayap kiri.
Para teoritisi globalisasi cenderung mengajukan pendapat bahwa modal internasional tidak lagi menghiraukan perbatasan antar-negara, sehingga perdagangan bebas dikira akan menghentikan perang. Menurut salah satu slogan mereka, "negeri-negeri di mana ada restoran McDonald’s tidak pernah saling tempur." Kenyataannya jauh berbeda. Perang meletus secara reguler selama ini: Perang Teluk, pertempuran di banyak tempat di Afrika, konflik bersenjata di beberapa negeri bekas Yugoslavia, kemudian serangan NATO di Serbia (yang memang mempunyai restoran-restoran McDonalds), agresi Rusia di Cecnya, dan lain sebagainya.
Peperangan semacam ini merupakan sebagian esensial dalam sistem kapitalis global, seperti halnya kegiatan IMF atau perusahaan multinasional, karena nasib setiap pemilik modal masih juga terkait dengan negara-negara tertentu. Perusahaan seperti Boeing, Monsanto, Microsoft dan Nike tidak mungkin menjadi kuat tanpa sokongan aparatus negara Amerika Serikat, termasuk militer. Namun kekuatan dan gengsi setiap negera bergantung pada kemampuannya untuk mengalahkan negara lain di medan perang, atau sekurang-kurangnya untuk ikut terlibat dalam sebuah aliansi militer yang mampu.
Pada awal tahun 1990-an kita menyaksikan koalisi militer yang dipimpin oleh Amerika menjalankan invasi di Teluk untuk mempertahankan kekuasaanya atas sumber minyak tanah. Pada akhir dasawarsa yang sama, kita menyaksikan sebuah koalisi yang mirip menyerang Serbia guna mempertahankan "kredibilitas" NATO, yaitu untuk menjamin posisi strategis mereka di Eropa tenggara, sekaligus mempertahankan akses ke daerah-daerah di Timur Tengah dan Laut Kaspian yang sekali lagi kaya akan minyak tanah. Thomas Friedman, seorang wartawan yang dekat dengan State Department A.S., menjelaskan hubungan antara perusahaan-perusahaan besar dan kekuasaan militer:
Tangan tersembunyi (the invisible hand) di pasar tidak pernah berfungsi tanpa kepalan tersembunyi yang disediakan oleh militer. McDonalds tidak bisa sukses tanpa McDonnell Douglas. Kepalan tersembunyi ini, yang menjaga keamanan bagi kesuksesan tekhnologi dari Silicon Valley, namanya angkatan darat, udara dan laut serta marinir.
Biasanya pemerintah-pemerintah dan para pemikir neoliberal berusaha menutup-nutupi hubungan itu, dan ketika melakukan perang mereka pura-pura membela hak asazi manusia. Jangan percaya kebohongan ini. IMF, WTO, Bank Dunia, Pentagon dan NATO hanya merupakan bermacam-macam sisi dari sistem yang sama. Tidak logis kita melawan satu aspek sambil mendukung aspek lain.
Mengembangkan sebuah teori alternatif
Neo-liberalisme dan proses globalisasi amat tidak manusiawi, namun tidaklah cukup jika kita hanya mengekspos segi yang tidak manusiawi itu. Teori neolib mengaburkan kenyataan eksploitasi dan penindasan secara sistematis. Ideologi itu harus kita bongkar secara sistematis pula. Kita juga mesti menjelaskan kenapa ideologi neolib begitu kuat. Kuatnya neoliberalisme tidak dapat dipahami sebagai hasil konspirasi kapitalis saja. Tentu saja ada banyak konspirasi kapitalis, tetapi itu bukan hal yang baru. Persekongkolan semacam itu selalu terjadi, tetapi ini tidak menjelaskan kenapa ide-ide neolib menjadi kuat persisnya di masa kini. Untuk sebuah penjelasan yang memadai, kita harus berangkat dari analisis Marx tentang sistem kapitalis.
Banyak teoretisi anti-kapitalis dewasa ini yang anti-Marx, karena dipengaruhi oleh pengalaman buruk di Uni Soviet, dan karena jemu "Marxisme akademis" abstrak yang berkembang di universitas-universitas pada tahun 1970-an. Tetapi pemikiran Marx meletakkan sebuah landasan yang tak kuat untuk mengerti sifat-sifat kapitalisme global.
Marx muda memulai sebagai seorang demokrat liberal yang melawan penindasan semi-feodal yang masih bercokol di benua Eropa. Namun dia lekas insaf bahwa mode produksi dan fenomena sosial kapitalis yang sedang muncul waktu itu, dan yang sudah menguasai negeri Inggeris, tidak kalah menindas dan mengeksploitasi manusia. Marx mulai menekuni cara-cara sistem baru ini beroperasi, dan bagaimana kapitalisme tersebut bisa ditentang -- seperti kaum pemikir terkemuka gerakan "anti-kapitalis" menekuni persoalan globalisasi baru-baru ini.
Fenomena "alienasi" (keterasingan) menjadi titik tolak bagi analisis Marx. Ini bukan hanya sebuah konsep filosofis atau sosiologis saja, melainkan berkaitan erat dengan dunia kerja dan sistem ekonomi pula. Marx mempelajari karya-karya para penganut terkemuka sistem kapitalis, seperti Adam Smith dan David Ricardo. Marx menarik kesimpulan bahwa, meskipun kapitalisme meningkatkan produktivitas kerja dan sumber-sumber daya ekonomi secara hebat, namun mayoritas besar umat manusia tidak beruntung:
Makin banyak yang dihasilkan oleh si pekerja, makin kurang konsumsinya. Makin banyak nilai yang diciptakannya, makin ia sendiri menjadi tak bernilai, tak berharga … [Sistem kapitalis] mengganti tenaga kerja dengan mesin, tetapi di saat yang sama melontarkan sebagian dari kaum pekerja kembali pada sebuah tipe pekerjaan yang biadab, sedangkan kaum pekerja lain menjadi mesin … sistem itu menghasilkan kepandaian -- tetapi bagi si pekerja, hanya kebodohan … Benar, pekerjaan semacam itu menghasilkan barang-barang gemilang bagi kaum kaya -- namun untuk kaum pekerja hanya kesengsaraan. Dia menghasilkan rumah-rumah mewah -- tapi untuk kaum pekerja, pondok-pondok kumuh belaka. Dia menghasilkan keindahan -- tapi untuk si pekerja cuma kejelekan … Si pekerja hanya merasa utuh di luar pekerjaannya, sedang selama dia bekerja dia merasa luar diri sendiri. Dia merasa betah selama tidak bekerja; selama bekerja dia sama sekali tidak kerasan. (The worker only feels himself outside his work, and in his work feels outside himself. He feels at home when he is not working, when he is working he does not feel at home.)
Seorang buruh bekerja untuk hidup. Dia malah tidak menghitung pekerjaannya sebagai kehidupan, melainkan sebagai pengorbanan kehidupannya … Yang dihasilkannya bagi diri sendiri bukanlah kain sutra yang ditenunnya, emas yang ditambangnya ataupun istana-istana yang dibangunnya. Yang dihasilkannya bagi diri sendiri hanyalah upah, sehingga kain sutra, emas dan istana itu menjelma mengambil bentuk sekian banyak kebutuhan hidup, mengkali sehelai jaket kapas, sedikit uang recehan, dan kamar sumpek yang dihuninya. Dan si pekerja yang menenun, memintal, mengebor, membangun, menyodok atau berkuli selama 12 jam sehari -- mengirakah dia ke-12 jam penunan, pemintalan, pengeboran, pembangungan, penyodokan dan pengkulian itu sebagai manifestasi kehidupannya? Malah sebaliknya, kehidupannya baru berawal begitu kegiatan-kegiatan itu selesai -- di meja makan, di kedai minuman, di tempat tidur.
Betapa relevannya kata-kata Marx ini! Untuk wanita-wanita muda di Indonesia atau Amerika Latin yang dilukiskan dalam tulisan-tulisan Naomi Klein, menjahit busana elegan yang tak pernah mereka sanggup beli dengan upah mereka sebesar sedolar sehari; atau kaum tani India yang tergusur oleh perusahaan kapitalis guna menghasilkan bahan makanan yang tidak mungkin akan dinikmati oleh para petani tersebut; ataupun kaum buruh pabrik baja di Amerika yang di PHK karena industri mereka menghasilkan "terlalu banyak" baja. Namun Marx tidak hanya menggambarkan keadaan yang sengsara ini; keadaan tersebut memang telah dilukiskan oleh orang lain sebelum Marx. Dia berusaha pula, melalui 25 tahun penelitian yang tekun, untuk memahami bagaimana sistem kapitalis bisa muncul -- dan bagaimana sistem itu menimbulkan lawan-lawannya sendiri.
Dia menemukan asal-usulnya dalam hal monopoli oleh sebuah kelas minoritas atas "alat-alat produksi", yakni hasil-hasil bekas pekerjaan, seperti mesin-mesin yang diperlukan oleh manusia untuk mencapai penghasilan yang memadai. Sehingga mayoritas rakyat hanya tinggal menjual tenaganya kepada kaum minoritas itu, jika tidak mau mati kelaparan. Namun monopoli atas alat-alat produksi yang dinikmati oleh minoritas tersebut memungkinkan mereka membayar sebuah upah untuk tenaga kerja itu yang kurang dari nilai yang dihasilkan oleh para pekerja. Sehingga kaum pemilik alat-alat produksi mendapatkan sebuah "nilai lebih" dari jerih payah kaum pekerja. Nilai lebih tersebut menjadi sumber profit, dividen dan bunga.
Di saat yang sama, perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh minoritas tersebut sedang saling bersaing. Akibatnya, setiap perusahaan berusaha bertumbuh lebih cepat dari para pesaingnya. Itu hanya dapat dilakukan dengan secara senantiasa memaksimalkan nilai lebihnya dengan semakin menghisap kaum pekerja. Sebagai konsekwensinya timbullah sebuah fenomena yang sama sekali kontradiktif bahkan absurd: terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peningkatan kemakmuran rakyat. Seperti tulis Marx:
Akumulasi, akumulasi! Itulah nabi-nabinya! Tabunglah, tabunglah! Yaitu rubahlah semakin banyak nilai lebih atau penghasilan surplus menjadi modal. Akumulasi guna akumulasi saja, produksi demi produksi belaka -- dengan rumusan ini, ilmu ekonomi-politik klasik mengucapkan amanat historis borjuasi.
Demikian bangkitlah sebuah sistem lengkap yang mengungkungi massa rakyat:
Kekuasaan si kapitalis atas pekerja juga merupakan kekusaan barang-barang atas manusia, pekerjaan mati atas pekerjaan hidup, produk-produk atas para produsen, karena sebenarnya barang-barang jualan yang menjadi alat dominasi atas kaum pekerja … adalah alat-alat produksi … Ini merupakan proses pengasingan pekerjaan sosial para pekerja.
Para pemilik modal sebagai individu menjadi pelaku yang menyelenggarakan proses ini. Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain kalau ingin tetap menjadi pemilik modal. Seandainya mereka tidak berhasil menghisap profit yang setara dengan profit para kapitalis lain, mereka akan kalah bersaing sehingga harus gulung tikar atau menjual perusahaan mereka kepada para kapitalis lain itu. Sehingga dalam artian tertentu para pemilik modal juga dikungkungi oleh logika sistem kapitalis -- tapi yang jelas, mereka menikmati sebuah gaya hidup yang jauh lebih bagus daripada rakyat jelata. Menurut Marx: "si pekerja dari mula menjadi korban; dia cenderung memberontak dan melihat proses itu sebagai perbudakan" sedangkan si kapitalis "mengakar dalam proses alienasi, dan di situ dia menikmati sebuah kepuasan hati yang penuh".
Para kapitalis mempertahankan sebuah dunia "kerja terasing", di mana hasil-hasil kegiatan manusia hidup sendiri dan mendominasi manusia itu. Di dunia ini kita senantiasa dipaksa untuk bekerja sambil secara berkala kita dipaksa untuk menganggur pula; kita manyaksikan kelaparan disamping penghasilan "terlalu banyak" produk, dan penggusuran kaum tani yang kemudian terpaksa harus datang ke perkotaan tetapi mungkin tidak mendapatkan pekerjaan di situ. Semakin kuatnya pihak kapitalis, semakin banyak orang yang harus menggantungkan pada pekerjaan upahan. Setiap kali mereka menjual tenaga mereka kepada pihak kapitalis, para majikan menghisap lebih banyak nilai lebih sehingga menjadi lebih kuat lagi. Bahkan kalau sejumlah pekerja berada dalam kedudukan yang relatif beruntung sehingga bisa memaksa para majikan meningkatkan upah, dinamika kapitalis tak kunjung berhenti: "Selama modal terakumulasi secara pesat, upah bisa saja meningkat; tapi profit kapitalis akan meningkat dengan jauh lebih cepat. Posisi materiil si pekerja memang membaik, tetapi posisi sosialnya tetap memburuk." Kaum pekerja masih terus "menempa rantai-rantai emas" yang mengungkungi mereka sendiri. Dan dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels melukiskan merambatnya sistem kapitalis ini ke seluruh penjuru dunia:
Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya mengejar borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.
Melalui penghisapannya atas pasar dunia borjuasi telah memberikan sifat kosmopolitan kepada produksi dan konsumsi di tiap-tiap negeri. Kaum reaksioner merasa sedih sekali karena borjuasi telah menarik bumi nasional dari bawah kaki industri di setiap negeri.. Semua industri nasional yang sudah tua telah dihancurkan atau sedang dihancurkan setiap hari. Mereka digantikan oleh industri-industri baru yang pelaksanaannya menjadi jadi masalah hidup dan mati bagi semua nasion yang beradab, oleh industri yang tidak lagi mengerjakan bahan mentah dari negeri sendiri, tetapi bahan mentah yang didatangkan dari wilayah-wilayah dunia yang paling jauh letaknya, industri yang barang-barang hasilnya tidak saja dipakai di dalam negeri tetapi di setiap pelosok dunia. Sebagai pengganti kebutuhan-kebutuhan masa lampau yang dipenuhi oleh produksi negeri sendiri, kita mendapatkan kebutuhan-kebutuhan baru, yang untuk memuaskannya diperlukan hasil-hasil dari negeri-negeri serta daerah-daerah iklim yang sangat jauh letaknya. Sebagai pengganti keadaan terasing serta mencukupi-kebutuhan-sendiri secara lokal maupun nasional yang lama, kita dapati hubungan ke segala jurusan, keadaan saling-tergantung yang universal di antara nasion-nasion …
Borjuasi, dengan perbaikan cepat dari segala alat produksi, dengan makin sangat dipermudahnya kesempatan menggunakan alat-alat perhubungan, menarik segala nasion, sampai yang paling biadab pun, ke dalam peradaban.
Langganan:
Postingan (Atom)